Oleh: Sarpintono
1. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Seiring dengan perkembangan peternakan sapi perah di
Indonesia, berbagai permasalahan persusuan pun semakin bertambah pula baik
permasalahan dari sisi peternak, koperasi, maupun dari industri pengolahan susu.
Sejak dilakukan impor sapi perah secara besar-besaran dari Australia dan New
Zealand pada awal tahun 1980-an, ternyata produktivitas usahaternak rakyat
masih tetap rendah seolah jalan ditempat, karena manajemen usaha ternak dan
kualitas pakan yang diberikan sangat tidak memadai. Memperbaiki manajemen
peternakan rakyat merupakan problema yang cukup komplek, tidak hanya merubah
sikap peternak tetapi juga bagaimana menyediakan stok bibit yang baik dan bahan
pakan yang berkualitas dalam jumlah yang memenuhi kebutuhan.
Dalam perdagangan bebas, restriksi perdagangan terutama
tarif bea masuk setahap demi setahap harus dikurangi sampai mencapai 0 %.
Dengan adanya perdagangan bebas ini, produk susu segar impor dapat memasuki
pasaran Indonesia dengan mudah. Satu sisi, hal ini dapat memberikan peluang dan
kesempatan pada konsumen untuk memilih produk susu yang mereka inginkan sesuai
dengan kualitas dan harga yang dapat mereka jangkau. Tapi di sisi lain, hal ini
dapat menyebabkan keterpurukan bagi para peternak sapi perah karena
ketidakmampuan bersaing dalam sisi harga, kualitas, dan produksi susu
dibandingkan dengan susu segar impor. Kondisi inilah yang menyebabkan para
peternak sapi perah kembali tidak bergairah untuk meneruskan usaha peternakan
sapi perahnya.
Berdasarkan berbagai kendala dan kondisi di atas, maka perlu
di teliti tentang permasalahan yang menghambat perkembangan persusuan di
Indonesia. Hambatan perkembangan persusuan di Indonesia dapat di analisis
dengan analisis sistem agribisnis sapi perah di Indonesia.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Bagaimana sistem
agribisnis pada komoditas sapi perah di Indonesia?
b. Bagaimana pola agribisnis
peternakan sapi perah di Indonesia?
c. Bagaimana distribusi
susu dari peternak sampai ke industri pengolahan susu di Indonesia?
d. Apa saja permasalahan dan
hambatan peternakan sapi perah di Indonesia?
1.3. Tujuan
a. Mengenal sistem agribisnis pada komoditas sapi perah di
Indonesia.
b. Menggambarkan pola agribisnis peternakan sapi perah di
Indonesia.
c. Menggambarkan distribusi susu dari peternak sampai ke
industri pengolahan susu di Indonesia.
d. Menganalisis permasalahan dan hambatan peternakan sapi perah
di Indonesia?
1.4. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah memberikan
informasi sebagai bahan pertimbangan pengambil kebijakan dalam beragribisnis peternakan sapi perah bagi pelaku usaha dan pelaku utama. Secara spesifik penelitian
ini akan dapat dimanfaatkan:
a. Sebagai masukan bagi pengusaha
agribisnis sapi perah tentang sistem, pola, distribusi, permasalahan dan
hambatan peternakan sapi perah di Indonesia.
b. Sebagai masukan bagi pengambil
kebijakan untuk membangun sistem agribisnis peternakan sapi perah di Indonesia.
2. Metode Penelitian
Untuk mengetahui sistem, pola, distribusi dan permasalahan
dan hambatan agribisnis peternakan sapi perah di Indonesia digunakan sistem,
pola, distribusi dan permasalahan dan hambatan agribisnis peternakan sapi perah
di Indonesia menggunakan metode data sekunder. Data-data sekunder tersebut
dianalisis dengan metode deskriptif.
3.Hasil dan Pembahasan
3.1. Sistem Agrbisnis Sapi Perah Di Indonesia
Sistem agribisnis pada komoditas sapi perah dibangun
berdasarkan sistem vertical integration, yaitu antar pelaku agribisnis
satu sama lain saling tergantung pada produk susu. Produksi susu hasil
peternakan rakyat sebagian besar disalurkan ke Koperasi/KUD persusuan yang
kemudian di pasarkan kepada Industri Pengolah Susu. Koperasi memberikan
pelayanan kepada peternak sebagai anggotanya, berupa pemasaran hasil
produksinya juga melayani kebutuhan konsentrat, obat-obatan, IB, memberikan
fasilitas penyaluran kredit, dan memberikan pelayanan penyuluhan. Melihat
sistem agribisnis tersebut, tampak bahwa bisnis persusuan tidak dapat
dipisahkan antara subsistem off farm I (pra produksi=subsistem I), on
farm (budidaya=subsistem II) dan off farm II (pasca
produksi=subsistem III dan pemasaran hasil=subsistem IV) serta sub
systempendukungnya, yaitu lembaga keuangan dan lembaga-lembaga
Penelitian/penyedian SDM.
3.2. Pola Agribisnis Peternakan Sapi Perah di Jawa Barat
Pada subsistem I (pra produksi), semua input produksi
(konsentrat, obat-obatan, hijauan, semen beku, peralatan inseminasi buatan,
alat-alat dan mesin perah, dan sebagainya) disuplai untuk kegiatan budidaya
sapi perah. Dengan adanya suplai input produksi tersebut, maka keberadaan sapi
perah telah memajukan usaha atau perusahaan yang bergerak di bidang input
produksi, seperti adanya pabrik pakan, pabrik peralatan dan mesin perah, dan
sebagainya. yang diproduksi oleh perusahaan
Pengembangan agribisnis berbasis sapi perah harus dilakukan
secara terintegrasi dari hulu sampai hilir. Selain itu, secara kelembagaan
antara peternak, koperasi dan IPS harus menjalankan pola kemitraannya secara
sinergis. Bila tidak dilakukan, niscaya bisnis persusuan tidak akan berhasil
sebagaimana yang diharapkan karena sistem kerjasama yang dibangun pada
komoditas sapi perah ini adalah sistem integrasi vertikal dengan satu jenis
produk yang sama, yaitu susu. Bila terjadi ketimpangan pada sistem agribisnis
ini, maka akan berdampak pada kehancuran subsistem yang ada di dalamnya.
3.3. Distribusi Susu, Input Dan Sarana Produksi
Peternak dari berbagai lokasi, baik yang berada di dataran
rendah dan diperbukitan menyetorkan susunya kepada koperasi yang terdekat
dengan wilayahnya melalui tempat pelayanan susu. Dari pelayanan susu tersebut,
kemudian susu dari peternak dibawa ke koperasi
untuk selanjutnya dikirim kepada IPS ataupun dijual langsung
ke konsumen. secara umum aliran disitribusi produk susu di mulai dari peternak.
Para peternak dari berbagai lokasi mengantarkan susunya ke titik terdekat yang
telah ditentukan oleh koperasi atau disebut juga
Tempat Penampungan Susu (TPS). Selanjutnya, pada jam yang
telah ditentukan, susu-susu dari TPS tersebut diambil oleh koperasi melalui
alat transportasi pengangkut susu untuk ditampung di koperasi. Selanjutnya
pihak koperasi melakukan test dan uji kualitas susu yang dihasilkan peternak
yang nantinya akan dikompensasi dengan harga susu per liternya. Susu yang
ditampung oleh koperasi selanjutnya didistribusikan ke Industri Pengolahan Susu
(IPS). Pihak IPS memberikan pembayaran atas harga susu dan pembinaan berupa
informasi harga ke koperasi. Pihak koperasi sendiri berperan memberikan
pelayanan kepada anggotanya sebagai penyedia input dan sarana produksi,
pembinaan terhadap peternak, pemberian kredit sapi, simpan pinjam, pelayanan
kesehatan, dan sebagainya.
3.4. Permasalahan dan Hambatan Peternakan Sapi Perah di
Indonesia
a. Kondisi Peternakan Sapi Perah Rakyat
Sebagian besar usaha peternakan sapi perah dikelola oleh
peternakan sapi perah rakyat dengan skala usaha yang tidak ekonomis. Skala
usaha peternakan sapi perah sekitar 5,8 ekor/unit usaha dan kemampuan produksi
sekitar 11,6 liter/ekor/hari, rataan kemampuan produksi susu di Jawa Barat
sekitar 8,20 kg/ekor/hari dengan skala usaha 3,3 ekor/peternak.
b. Ketersediaan pakan
Satu permasalahan utama yang sering dialami oleh para
peternak adalah kontinyuitasn masalah hijauan. Pada musim hujan, hijauan sangat
berlimpah sehingga para peternak tidak begitu susah untuk mencari hijauan.
Tetapi apabila musim kemarau panjang datang, maka sudah jelas kesulitan yang
terjadi adalah ketersediaan hijauan. Dari tahun ketahun permasalahan
ketersediaan hijauan di musim kemarau menjadi momok yang besar dan pekerjaan rumah
yang belum terselesaikan, baik oleh para peternak maupun koperasi. Sudah ada
berbagai upaya pengawetan hijauan, seperti silase, pengeringan hijauan,
mengganti dengan sumber pakan lain, dan sebagainya belum efektif dalam memenuhi
kebutuhan hijauan yang cukup besar tersebut.
c. Kendala Manajemen Peternakan Sapi perah Rakyat
Kendala manajemen peternakan sapi perah rakyat di Indonesia adalah: 1) Masih
rendahnya roduktivitas sapi perah yang dipelihara peternak, karena mutu genetik
(bibit) sapi perahnya rendah, juga karena manajemen budidaya ternak dan
kualitas pakan yang diberikan tidak memadai. 2) Rendahnya kualitas susu
yang ditunjukan antara lain oleh tingginya kandungan kuman sekitar rata-rata
diatas 10 juta/cc, yang diakibatkan oleh sistem manajemen kandang yang
tradisional, sehingga harga yang terbentuk pun menjadi rendah. 3) Sapi perah
sangat tergantung pada ketersediaan lahan sebagai penghasil pakan. Realitanya,
lahan produktif bagi kepentingan peternakan sapi perah semakin terdesak oleh
kebutuhan sektor lainnya. 4) Rataan jumlah pemilikan ternak yang tidak efesien
(3,3 ekor/peternak), sehingga kurang menjanjikan keuntungan bagi peternak. Hal
ini menjadikan tantangan tersendiri untuk meningkatkan skala usahanya, sehingga
usaha peternak menjadi efesien. 5) Semakin langkanya sumberdaya manusia berupa
tenaga kerja muda yang berusaha di bidang peternakan sapi perah. Hal ini
sebagai dampak dari pergeseran orientasi pembangunan yang mengarah ke sektor
jasa dan industri. 6) Belum terjadinya integrasi dan koordinasi yang harmonis
antar lembaga pemerintah, swasta, koperasi dan peternak, sehingga berbagai
kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah kurang diantisipasi oleh para pelaku
bisnis.
d. Pemasaran dan Pengolahan Hasil Produksi
Berdasarkan data yang telah diungkapkan, masih terdapat
kekurangan suplai susu untuk memenuhi permintaan di Indonesia.
e. Koperasi Persusuan
Permasalahan pada koperasi adalah: 1) Orientasi usaha masih subsisten.
Umumnya Koperasi dan UKM melakukan kegiatan usahanya masih berorientasi
subsisten. Artinya kegiatan yang dilakukannya hanya memenuhi kebutuhan hari
ini. Orientasi sesungguhnya masih kepada produksi (budidaya), belum mampu
menyusun kekuatan pasar dan sarana produksi. Akibatnya sub sistem Koperasi dan
UKM masih memiliki ketergantungan usaha terhadap sub sistem lainnya,
yang seharusnya terjadi saling ketergantungan antar sub sistem.
2)Kendala operasionalisasi kebijakan pemerintah. Koperasi dan UKM
merupakan ajang atau obyek dari proses pembangunan bukannya subyek pembangunan.
Kenyataan ini, tampak dari berbagai kebijakan yang ada, selalu diikuti dengan
kegagalan dan kemacetan di sanasini (contoh kasus, KUT dan kredit program
lainnya). Hal tersebut mungkin lebih disebabkan oleh profesionalisme SDM yang
melakukan transfer kebijakan masih rendah dalam menghadapi gerakan Koperasi. 3)Sumber
Daya Manusia (SDM). Koperasi dan UKM masih belum mampu menghargai tingkat
profesionalisme SDM yang ada. Berbeda dengan dunia usaha skala Besar. Akibatnya
tenaga-tenaga profesional enggan berkiprah di Koperasi dan UKM. Selain itu,
masih kentalnya budaya memilih tokoh/masyarakat serba bisa, padahal kondisi
yang diperlukan adalah seorang wirausaha yang profesional. Di samping itu,
karena tidak profesionalnya para pengurus dan karyawan maka banyak yang
menjalankan koperasi yang tidak amanah sehingga koperasi menjadi bangkrut.
f. Permasalahan Industri Pengolahan Susu
Seiring dengan dibebaskannya perusahaan pengolahan susu
untuk tidak selalu menyerap susu dari peternak dan diberikannya kebebasan impor
susu, maka para peternak dan koperasi harus mampu bersaing dengan produk susu
dari luar negeri. Saat ini, susu segar dalam negeri masih terselamatkan dengan
harga susu tepung impor yang relatif mahal dibandingkan dengan susu segar dalam
negeri.
Selain itu, untuk produk ultra high temperature yang
diproduksi oleh perusahaan dalam bentuk susu cair kemasan masih menjadi
penolong bagi susu segar dari peternak karena IPS tidak berani membayar mahal
untuk mengimpor susu cair dari luar negeri. Selama ini, 80% susu dari peternak
diserap oleh IPS. Harga susu yang diterima peternak dari IPS belum mengalami
penaikan padahal biaya produksi sudah semakin meningkat. Ini yang menjadi tugas
dari GKSI untuk memperjuangkan peningkatan harga susu yang diterima peternak
dari IPS.
Makalah Usaha Peternakan Sapi Perah
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia
merupakan negara sedang berkembang yang memiliki karakteristik laju pertumbuhan
ekonomi yang cukup baik dibarengi dengan laju pertumbuhan yang pesat.
Peningkatan jumlah penduduk saat ini memberikan dampak yang besar terhadap
peningkatan permintaan (demand) produk pangan masyarakat. Selain itu,
perkembangan masyarakat saat ini lebih ke arah yang lebih maju baik dari segi
pendapatan maupun tingkat pengetahuan masyarakat mengenai pentingnya nilai gizi
pangan. Hal ini
membuat masyarakat cenderung lebih meningkatkan konsumsi pangan yang mengandung gizi tinggi. Salah satu produk pangan yang terus mengalami peningkatan permintaan setiap tahunnya adalah susu. Peningkatan tersebut ditandai dengan meningkatnya konsumsi susu per kapita dari tahun ke tahun, mulai dari 5,79 kg/kapita pada tahun 2001 dan meningkat menjadi 6,8 kg/kapita pada tahun 2005 (Ditjen Bina Produksi Peternakan, 2009).
membuat masyarakat cenderung lebih meningkatkan konsumsi pangan yang mengandung gizi tinggi. Salah satu produk pangan yang terus mengalami peningkatan permintaan setiap tahunnya adalah susu. Peningkatan tersebut ditandai dengan meningkatnya konsumsi susu per kapita dari tahun ke tahun, mulai dari 5,79 kg/kapita pada tahun 2001 dan meningkat menjadi 6,8 kg/kapita pada tahun 2005 (Ditjen Bina Produksi Peternakan, 2009).
Pengembangan
sektor peternakan khususnya usaha ternak sapi perah di Indonesia saat ini perlu
dilakukan karena kemampuan pasok susu peternak lokal saat ini baru mencapai 25
persen sampai 30 persen dari kebutuhan susu nasional (Direktorat Jenderal
Peternakan, 2007). Besarnya volume impor susu menunjukkan prospek pasar yang
sangat besar dalam usaha peternakan sapi perah untuk menghasilkan susu sapi
segar sebagai produk substitusi susu impor.
Meningat kondisi geografis, ekologi dan kesuburan lahan di beberapa wilayah Indonesia memiliki karakteristik yang cocok dalam pengembangan peternakan sapi perah (agribisnis persusuan) serta besarnya kekurangan pasokan susu dalam negeri, sebenarnya banyak sekali kerugian yang diperoleh Indonsia akibat dilakukannya kebijakan impor susu. Diantaranya adalah terkurasnya devisa nasional, tidak dimanfaatkannya potensi sumber daya manusia yang ada khususnya masyarakat pedesaan untuk pengembangan agribisnis persusuan, dan hilangnya potensi pendapatan yang seharusnya diperoleh pemerintah dari pajak apabila agribisnis persusuan ini dikembangan secara baik.
Meningat kondisi geografis, ekologi dan kesuburan lahan di beberapa wilayah Indonesia memiliki karakteristik yang cocok dalam pengembangan peternakan sapi perah (agribisnis persusuan) serta besarnya kekurangan pasokan susu dalam negeri, sebenarnya banyak sekali kerugian yang diperoleh Indonsia akibat dilakukannya kebijakan impor susu. Diantaranya adalah terkurasnya devisa nasional, tidak dimanfaatkannya potensi sumber daya manusia yang ada khususnya masyarakat pedesaan untuk pengembangan agribisnis persusuan, dan hilangnya potensi pendapatan yang seharusnya diperoleh pemerintah dari pajak apabila agribisnis persusuan ini dikembangan secara baik.
Perumusan Masalah
ü 1. Bagaimana Memulai suatu Usaha Peternakan Sapi
Perah di Kabupaten Gowa
ü 2. Bagaimana Perencanaan Pengembangan Sapi Perah di
Kabupaten Gowa
TINJAUAN PUSTAKA
Menurut
Firman (2007), seiring dengan perkembangan waktu, perkembangan agribisnis
persusuan di Indonesia dibagi menjadi tiga tahap perkembangan, yaitu Tahap I
(periode sebelum tahun 1980) disebut fase perkembangan sapi perah, Tahap II
(periode 1980-1997) disebut periode peningkatan populasi sapi perah, dan Tahap
III (periode 1997-sampai sekarang) disebut periode stagnasi. Stagnasi
tersebut menyebabkan sampai saat ini Indonesia belum mampu untuk memenuhi
kebutuhan susu dalam negeri. Hal ini terjadi akibat banyaknya kendala dalam
melakukan pengembangan usaha ternak sapi perah seperti keterbatasan modal,
tingginya harga pakan konsentrat, keterbatasan sumber daya dan juga lahan untuk
penyediaan hijauan, minimnya rantai pemasaran susu. Hal lain yang menjadi
kelemahan dalam usaha ternak sapi perah adalah terbatasnya teknologi pengolahan
kotoran hewan ternak saat ini yang menyebabkan pencemaran.
Menurut
Direktorat Jenderal Peternakan
(2007), perkembangan ekspor susu olahan dan impor susu bubuk (Skin Milk
Powder-SMP) mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Berdasarkan data
dari tahun 2003-2006, volume ekspor dan produk susu olahan tertinggi dicapai
pada tahun 2003 sebesar 49.593.646 kg dengan nilai US $54.830.373. Sedangkan,
volume impor tertinggi juga dicapai pada tahun 2005 sebesar 173.084.444 kg
dengan nilai US $399.165.422. Dari angka tersebut, terlihat bahwa volume impor
susu jauh lebih besar daripada volume ekspornya. Hal ini mengindikasikan bahwa
kondisi perkembangan peternakan sapi perah di Indonesia masih jauh dari target.
Susu
merupakan bahan makanan asal ternak yang memiliki kandungan gizi tinggi. Hal
ini mengakibatkan permintaan akan susu meningkat seiring dengan semakin
bertambahnya populasi manusia setiap tahunnya. Saat ini sebagian besar susu di
Indonesia masih harus diimpor (sekitar 70 %), sedangkan 30%nya di pasok dari
produksi susu domestic yang sebagian besar dihasilkan oleh peternakan sapi
perah rakyat. Selain itu, susu yang dihasilkan oleh peternak sapi perah
Indonesia banyak yang tidak memenuhi standar IPS, sehingga banyak susu yang
ditolak pabrik pengolahan susu. Tidak ada langkah lain selain membuang susu,
dan hal ini tentu akan merugikan peternak Indonesia (Anonim, 2012).
Sebagai
generasi bangsa, setiap masyarakat Indonesia dituntut peran sertanya dalam
pembangunan. Salah satu aspek penting dan vital bagi rakyat Indonesia adalah
bidang pertanian, karena sebagian besar masyarakat Indonesia bergerak dalam
sector pertanian, termasuk didalamnya subsector peternakan. Langkah yang dapat
dilakukan untuk mencukupi kebutuhan konsumsi susu masyarakat Indonesia adalah
dengan banyak masyarakat yang membudidayakan peternakan sapi perah. Supaya
peternakan sapi perah berjalan sesuai dengan tujuan yaitu memberikan produksi
susu yang tinggi dan memberikan kesejahteraan bagi masyarakat, maka diperlukan
perencanaan yang matang sebelum memulai membudidayakan peternakan sapi perah
(Sudono, 1999).
PEMBAHASAN
ü Memulai Suatu Usaha
Peternakan Sapi Perah
Sebelum memulai beternak sapi perah, ada beberapa hal yang
harus dipersiapkan dan diperhitungkan secara matang. Persiapan dan perhitungan
ini sangat menentukan keberhasilan peternakan. Paling tidak, ada tiga hal yang
harus dipersiapkan dan dipertimbangkan yaitu : lahan untuk kandang dan tempat
memnanam rumput, ketersediaan air dan keberadaaan bibit sapi perah.
A. PERSIAPAN LAHAN
1. Lahan Untuk
Kandang
Lahan yang dibutuhkan untuk kandang berdasarkan keadaan sapi
perah terbagi atas 3 yaitu sebagai berikut :
-. Kandang
seekor sapi masa produksi membutuhkan lahan seluas 380 x 140 cm =
5,32 m². luas lahan ini sekaligus termasuk selokan, jalan kandang dan tempat
pakan.
-. Kandang sapi
dara siap bunting sampai bunting membutuhkan lahan 12 x 20 m = 240
m²/ 10 ekor. Dalm hal ini, sapi-sapi dara dilepaskan secara berkelompok.
-. Kandang seekor
sapi pedet membutuhkan lahan seluas 150 x 120 cm =1,8 m²
2. Lahan Untuk
Penanaman Rumput
Usaha peternakan sapi perah sangat tergantung pada
ketersediaan pakan hijaun. Pakan berupa hijauan ini bisa diperoleh dari lahan
pertanian dan hasil budidaya atau penananaman secara khusus. Agar peternak
memiliki persediaan hijauan, keberadaan lahan untuk penanaman rumput mutlak
diperlukan. Lahan untuk kebutuhan ini disesuaikan dengan jumlah sapi perah yang
dipelihara. Menurut pengalaman, lahan seluas 1 ha bisa memenuhi kebutuhan
hijauan sekitar 10-14 ekor sapi dewasa selama 1 tahun.
B. KETERSEDIAAN AIR
Air mutlak diperlukan dalam usaha peternakan sapi perah. Hal
ini disebabkan susu yang dihasilkan 87% berupa air dan sisanya berupa bahan
kering. Disamping itu, untuk mendapatkan 1
litter susu, seekor sapi perah membutuhkan 3-4 litter air minum. Untuk
menghasilkan susu yang sebgaian besar berupa air tersebut, keberadaan atau
ketersediaan air dilingkungan sekitar lokasi peternakan harus diperhitungkan.
Dengan perhitungan yang matang, peternak diharapkan tidak mendapat kesulitan di
belakang hari.
Dalam peternkan ini, air digunakan tidak hanya untuk minum
sapi namun juga digunakan untuk memnadikan sapid an membersihkan kandang.
Khusus untuk minum, sebaiknya sapi diberikan minum secara adlibitum atau tidak
terbatas jumlahnya (sekenyangnya).
C. BIBIT
Bibit sapi perah yang akan dipelihara sangat menentukan
keberhasilan usaha ini. Hal ini juga seperti yang terjadi pada rekan saya yaitu
bpk. Atta yang bergerak dalam usaha sapi perah yang pernah mengalami kerugian
akibat sapi bibit yang dibelinya ternyata merupakan sapi yang freemartin (sapi
betina namun memiliki sifat sapi jantan -> tidak bisa bunting). Oleh karena
itu maka pemilihan bibit harus dipikirkan dan dan dilakukan dengan cermat
dengan memperhatikan hal-hal berikut :
1. Genetic atau
keturunan
Bibit sapi perah harus berasal dari induuk yang
produktivitasnya tinggi dan pejantan yang unggul. Hal ini disebabkan sifat
unggul kedua induk akan menurun kepada anaknya. Akan lebih baik lagi jika bibit
tersebut berasal dari induk yang produktifitasnya tinggi yang dikawinkan dengan
pejantan unggul.
2. Bentuk ambing
Bentuk ambing pada sapi perah dapat menentukan kuantitas dan
kualitas susu yang akan dihasilkan. Ambing yang baik adalah ambing yang besar,
pertautan antara otot kuat dan memanjang sedikit ke depan, serta putting normal
(tidak lebih dari 4)
3. Eksterior atau
Penampilan
Secara keseluruhan, sosok bibit sapi perah harus
proporsional, tidak kurus dan tidak terlalu gemuk, kaki berdiri tegak dan jarak
antara kaki kanan dan kai kiri cukup lebar (baik kai depan maupun belakang),
serta bulu mengkilat. Perlu diketahui, besar tubuh tidak menentukan kauntitas
atau jumlah susu yang dihasilkan serta tidak menentukan ketahaan terhadap penyakit.
4. Umur Bibit
Umur bibit sapi perah betina yang ideal adalh 1,5 tahun
dengan bobot sekitar 300 kg. sementara itu, umur pejantan 2 tahun dengan bobot
badan sekitar 350 kg.
ü Perencanaan
Pengembangan Sapi Perah
Suatu usaha yang didasarkan pada rencana sebelumnya,
hasilnya akan lebih baik dibandingkan dengan usaha yang dilakukan tanpa ada
rencana sebelumnya. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam membuat
perencanaan sapi perah adalah sebagai berikut:
1. Merintis Usaha
Sebelum memulai usaha kita harus menentukan titik awal atau
latar belakang kita berusaha, apakah usaha kita merupakan pendirian usaha atau
pengembangan usaha. Jika pendirian usaha, maka perencanaan akan dimulai dari
awal, sedangkan jika pengembangan usaha, maka perencanaan usahanya merupakan
perencanaan lanjutan. Persiapan dalam merintis usaha yaitu harus memperhatikan:
- Aspek Umum yang umumnya terdiri dari social, budaya, tanggapan masyarakat, dukungan pemerintah, dan lain-lain,
- Aspek Ekonomi, yaitu berkaitan dengan analisis usaha yang nantinya apakah usahanya akan menguntungkan atau sebaliknya memperoleh kerugian. Sehingga aspek ekonomi ini merupakan aspek yang vital dalam perencanaan usaha peternakan sapi perah,
- Aspek Teknis Operasional yaitu aspek yang terkait dengan teknis dan lingkungan. Tanpa adanya aspek ini, maka produksi tidak dapat dihasilkan. Untuk memperoleh usaha yang menguntungkan, maka harus dimulai dari aspek teknis yang baik dan berkualitas.
2. Rencana Kerja Usaha
Rencana kerja disusun setelah ada ide merintis usaha. Tahap ini
merupakan tahap yang menentukan dalam awal usaha yang dilakukan. Rencana kerja
dapat dibagi kedalam lima bagian, yaitu:
- Maksud dan tujuan usaha
Usaha peternakan sapi perah dijalankan sebagai usaha
produksi susu saja atau ditambah dengan usaha pembibitan sapi perah. Kejelasan
maksud dan tujuan akan memudahkan dalam kelanjutan usaha kedepannya.
- Ternak yang akan diusahakan
Ternak yang diusahakan akan menggunakan jenis ternak
tertentu, kemudian jenis kelamin tertentu dan harus dipastikan jumlah awal
ternaknya berapa banyak atau jika pengembangan maka penambahan ternaknya harus
diperhatikan berapa banyak.
- Kandang dan Gudang
Hal ini disesuaikan dengan rintisan usaha, apakah akan
membuat bangunan awal atau membuat bangunan tambahan.
- Pakan
Pakannya harus dipantau ketersediaannya, sehingga terjadi
kontinyuitas penyediaan pakan. Maka ternak dapat tercukupi kebutuhan pakannya
baik dari segi kualitas maupun kuantitas.
- Pasar
Usaha ternaknya harus mempunyai pasar yang baik. Jika
pasarnya kurang baik, meskipun produksinya tinggi dan baik maka susu atau pedet
tidak dapat dijual dan hal ini akan menyebabkan kerugian pada usaha peternakan
sapi perah.
3. Rencana Penggunaan Modal
Rencana penggunaan modal juga merupakan aspek yang memiliki
peran vital dalam usaha, karena tanpa modal usaha hanya akan menjadi rencana
saja dan tidak adapat diaplikasikan. Modal usaha yang harus dikeluarkan dalam
menyusun rencana usaha peternakan sapi perah yaitu:
- Investasi
- Kandang
- Gudang
- Perumahan
- Peralatan pemerahan
- Peralatan teknis pemeliharaan
- Biaya Tetap
- Sapi betina (Laktasi dan kering kandang)
- Sapi jantan
- Pedet betina
- Pedet jantan
- Biaya Operasional
- Pakan (Hijauan dan konsentrat)
- Gaji karyawan
- Obat-obatan
- Penyusutan bangunan dan peralatan
- Listrik
- Penyusutan kematian ternak (sekitar 4-5 %)
- Pajak
- Biaya lain-lain.
- Perkembangbiakan ideal sapi perah
Sebelum memulai usaha, peternak atau pengusaha harus
mengetahui perkembangbiakan sapi perah. Beberapa hal yang harus diketahui dan
diperhatikan adalah sebagai berikut:
- Lama kebuntingan 9 bulan
- Masa kering kandang 2 bulan
- Siklus birahi 21 hari
- Lama birahi 2 sampai 3 hari
- Umur afkir induk atau pejantan 8 sampai 9 tahun
- Pedet betina diberikan susu sampai umur 4 bulan
- Pedet jantan diberikan susu sampai umur 2 bulan
- Pedet jantan dapat dijual setelah umur 1,5 sampai 2 bulan
Langkah yang perlu dilakukan setelah usaha peternakan sapi
perah berjalan adalah dilakukan evaluasi. Evaluasi dilakukan dengan tujuan
untuk mengetahui sejauh mana target yang direncanakan tercapai. Sehingga dapat
mengambil langkah preventif sebaliknya pengembangan pada usaha peternakan sapi
perah. Hal ini tentu akan membantu mengurangi ketergantungan bangsa Indonesia
akan impor susu. Siapa lagi yang akan membangun Indonesia jika bukan para
penerus dan generasi bangsa.
KESIMPULAN
Berdasarkan Pembahasan diatas Kabupaten Gowa khususnya Desa
Malino sangat berpotensi untuk dijadikan sebagai tempat atau lahan peternakan
Sapi Perah karena lokasi yang cukup strategis dan suhu yang sangat mendukung
untuk peternakan sapi perah sesuai yang telah di jelaskan diatas.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim.2012.
http://www.ilmu-peternakan.com/2009/05/perencanaan-peternakan-sapi-perah.html.
di akses pada tanggal 1 Oktober 2012.
Anonim.2012.
http://www.fedcosierra.com/2011/07/persiapan-sebelum-memulai-ternak-sapi.html.
di akses pada tanggal 1 oktober 2012.
Firman, Achmad. 2007. Manajemen Agribisnis Sapi Perah :
Suatu Telaah Pustaka. Fakultas Peternakan, Universitas Padjadjaran. Bandung
Sudono, Adi. 1999. Ilmu Produksi Ternak Perah. Jurusan Ilmu
Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
[Ditjennak] Direktorat Jenderal Peternakan. 2008. Statistik
Peternakan 2008. Jakarta: Departemen Pertanian.
Priyono, S.Pt
Alumnus Fakultas Peternakan Universitas Jenderal
Soedirman
Mahasiswa Magister Ilmu Ternak Universitas Diponegoro
Email: priyono.spt@gmail.com
PENDAHULUAN
Setiap peternak yang memelihara ternak untuk dijual
atau dikomersilkan selalu mengharapkan dapat memperoleh keuntungan yang
setinggi-tingginya dengan biaya tertentu. Hal ini merupakan prinsip ekonomi
yang sudah mengakar pada setiap orang yang melakukan usaha, baik usaha
pertanian, peternakan maupun usaha komersil yang lain. Saat ini yang menjadi
prioritas dan menjadi perhatian adalah kepada aspek modal finansial. Dimana
diatur sedemikian rupa untuk dapat memaksimumkan keuntungan dan meminimumkan
biaya. Seperti, penggunaan investasi yang tepat, menentukan fungsi produksi,
fungsi keuntungan, efisiensi usaha dan kelayakan usaha.
Jika kita mengamati dengan cermat, sebetulnya suatu
pembangunan dapat berjalan dengan lancar dan maju jika sebagian warga negara
menggunakan modal finansial dengan diimbangi modal sosial. Modal finansial
adalah sejumlah uang yang dapat digunakan untuk membeli fasilitas dan alat-alat
produksi perusahaan saat ini (misalnya pabrik, mesin, peralatan, kantor,
kendaraan) atau sejumlah uang yang dihimpun atau ditabung untuk investasi
dimasa depan (Suharto, 2007). Modal finansial ini mempunyai konsep yang mudah
dipahami oleh semua orang, bahkan orang yang tidak mengenyam pendidikan formal
juga dapat memahami konsep modal finansial ini.
PEMBAHASAN
Dewasa ini mulai ramai dikembangkan penelitian-penelitian
mengenai modal sosial. Peneliti ingin menggugah kesadaran masyarakat bahwa
modal sosial tidak kalah pentingnya dibandingkan dengan modal finansial. Modal
sosial ini memerlukan pemahaman yang lebih dibandingkan dengan modal finansial.
Modal sosial dapat diartikan sebagai sumber (resource) yang timbul dari
adanya interaksi antara orang-orang dalam suatu komunitas (Suharto, 2007). Jadi
modal sosial dapat diukur dari hasil interaksi dan pengukurannya memerlukan
ketelitian yang lebih. Modal sosial yang diantaranya terdiri dari kepercayaan,
kohesifitas, altruisme, gotong royong, jaringan dan kolaborasi sosial memiliki
pengaruh yang besar terhadap pertumbuhan ekonomi melalui beragam mekanisme
(Blakeley dan Suggate, 1998; Suharto 2005a, Suharto 2005b). Sebagian besar
orang dapat memahami modal sosial jika diberikan contoh-contohnya dalam
aplikasi kehidupan sehari-hari. Salah satu contoh aplikatifnya yaitu:
Ternak sapi potong merupakan ternak yang menjadi andalan
bangsa Indonesia. Hal tersebut didukung dengan rencana pemerintah dalam
mencanangkan program swasembada daginng. Sehingga bangsa Indonesia tercukupi kebutuhan
akan protein hewani dengan meningkatnya konsumsi masyarakat akan daging. Jumlah
kebutuhan 6 gram protein hewani dapat tercukupi. Daging sapi merupakan daging
pilihan masyarakat dibandingkan dengan dari daging ayam.
Ternak sapi potong banyak dibudidayakan oleh masyarakat
mengingat kebutuhan akan daging tidak pernah menurun dan nilai dari daging
umumnya selalu stabil. Masyarakat peternak Indonesia lebih banyak yang
mengusahakan penggemukan sapi potong (fattening) karena pemeliharaan
relatif mudah dan cepat yaitu sekitar 4 sampai 7 bulan. Peternak membeli sapi
bakalan kemudian digemukkan dan setelah 4 sampai 7 bulan dijual untuk dipotong.
Jenis sapi yang biasa digemukkan yaitu Simmental, Peranakan FH dan Peranakan
Ongole.
Peternak sapi potong rakyat umumnya membentuk kelompok tani
ternak dalam melakukan aktivitas usahanya. Hal ini dilakukan untuk memudahkan
peternak dalam adopsi teknologi baru, perkembangan harga ternak, pakan,
pemeliharaan, kesehatan dan lain sebagainya. Dalam kelompok inilah kelihatan
nyata sekali modal sosial yang dimiliki peternak dapat diukur. Peternak dengan
modal sosial yang tinggi cenderung akan berusaha lebih baik, sehingga
pendapatan yang diterima tinggi. Hal ini sesuai dengan penelitian Priyono
(2008) yang menyatakan bahwa ikatan sosial (modal sosial) memiliki pengaruh
yang nyata terhadap pendapatan dan efisiensi ekonomi usaha ternak sapi potong.
Semakin tinggi modal sosial, maka berkorelasi positif dengan pendapatan dan
efisiensi ekonomi usaha. Sehingga apabila modal finansial dan modal sosial
dilakukan secara seimbang, maka pembangunan ekonomi masyarakat dapat maju.
KESIMPULAN
Peternak sapi potong rakyat umumnya membentuk kelompok tani
ternak dalam melakukan aktivitas usahanya. Peternak dengan modal sosial yang
tinggi dalam kegiatan usaha kelompok cenderung akan berusaha lebih baik,
sehingga usaha ternak sapi potong meningkat dan pendapatan yang diterima tinggi
DAFTAR PUSTAKA
Blakeley, Roger dan D. Suggate. 1997. “Public Policy
Development” dalam David Robinson (ed), Social Capital dan Policy
Development, Wellington: The Institute of Policy Studies: 80-100.
Priyono. 2008. Studi Keterkaitan Antara Ikatan Sosial
Dengan Pendapatan dan Efisiensi Ekonomi Usaha Ternak Sapi Potong Di Kabupaten
Banjarnegara. Skripsi. Universitas Jenderal Soedirman. Purwokerto.
Suharto, E. 2007. Modal Sosial dan Kebijakan Publik.
Artikel.
Suharto, E. 2005a. Analisis Kebijakan Publik:
Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan Kebijakan Sosial. Alfabeta. Bandung.
Suharto, E. 2005b. Membangun Masyarakat
Memberdayakan Masyarakat: Kajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan
Pekerjaan Sosial. Refika Aditama. Bandung.
PELUANG USAHA TERNAK SAPI POTONG
Juni 23, 2010 oleh Arief Rachman W.
Usaha peternakan sapi potong pada saat ini masih tetap
menguntungkan. Pasalnya, permintaan pasar terus memperlihatkan peningkatan.
Termasuk di pasar ekspor seperti ke Malaysia. Di negara jiran itu permintaan
cenderung meningkat yang dipicu oleh bergesernya tradisi memotong kambing ke
tradisi memotong sapi atau kerbau pada saat perhelatan keluarga atau perayaan
lainnya.
Indonesia dengan jumlah penduduk di atas 220 juta jiwa
membutuhkan pasokan daging yang besar. Peternakan domestik belum mampu memenuhi
permintaan daging dari warganya. Timpangnya antara pasokan dan permintaan,
ternyata masih tinggi.
Tidak mengherankan, lembaga yang memiliki otoritas tertinggi
dalam hal pertanian termasuk peternakan, Deptan, mengakui masalah utama usaha
sapi potong di Indonesia terletak pada suplai yang selalu mengalami kekurangan
setiap tahunnya.
Sementara laju pertumbuhan konsumsi dan pertambahan penduduk
tidak mampu diimbangi oleh laju peningkatan populasi sapi potong dan pada
gilirannya memaksa Indonesai selalu melakukan impor baik dalam bentuk sapi
hidup maupun daging dan jeroan sapi.
Menurut data Susenas (2002) yang dikeluarkan BPS,
memperlihatkan konsumsi daging sapi dan jeroan masyarakat Indonesia sebesar
2,14 kg/kap/tahun. Konsumsi tersebut sudah memperhiutngkan konsumsi daging
dalam bentuk olahan seperti sosis, daging kaleng dan dendeng.
Asumsi
|
|
*
|
Penduduk tahun sebesar 206,3 juta dengan tingkat pertumbuhan
sebesar 1,49% per tahun
|
*
|
Populasi sapi lokal sebesar 11,6 juta ekor dengan tingkat
pertumbuhan sebesar 14% per tahun.
|
*
|
Konsumsi daging sebesar 1,72 kg/kapita/tahun dengan
peningkatan sebesar 0,1 kg/kapita/tahun.
|
*
|
Produksi daging sapi sebesar 350,7 ribu ton.
|
Proyeksi kebutuhan daging
|
||
* Th 2000
|
-
|
Penduduk 206 juta orang
|
-
|
Konsumsi 1,72 kg/kapita/tahun
|
|
-
|
Produksi daging 350,7 ribu ton/tahun
|
|
-
|
Pemotongan sapi 1,75 juta ekor/tahun
|
|
* Th 2010
|
-
|
Penduduk 242, 4 juta orang
|
-
|
Konsumsi 2,72 kg/kapita/tahun
|
|
-
|
Produksi daging 654,4 ribu ton/tahun
|
|
-
|
Pemotongan sapi 3,3 juta ekor/tahun (naik 88,6%)
|
|
* Th 2020
|
-
|
Penduduk 281 juta orang
|
-
|
Konsumsi 3,72 kg/kapita/tahun
|
|
-
|
Produksi dagiing 1,04 juta ton/tahun
|
|
-
|
Pemotongan sapi 5,2 juta ekor/tahun (naik 197%)
|
Sumber : Apfindo
Dengan kondisi tersebut diperkirakan keadaan populasi 2009
hanya mampu memasok 80% dari total kebutuhan dalam negeri. Keadaan tersebut
tentu sangat menghawatirkan karena suatu saat akan terjadi dimana kebutuhan
daging sapi dalam negeri sangat tergantung kepada impor. Dengan demikian
ketergantungan tersebut tentu akan mempengaruhi harga sapi lokal (datinnak).
Konono, menurut analisa Asosiasi Produsen Daging dan Feedlot
Indonesia (Apfindo), populasi sapi lokal Indonesoia, cenderung semakin menurun
tanpa ada subtitusi dari impor sapi bakalan. Contoh pada 1997, populasi sapi
lokal sebesar 11,9 juta ekor menjadi 11 juta ekor (8,2%) pada 2000 dikarenakan
impor sapi bakalan terganggu krisis.
Semakin sulitnya sapi lokal memenuhi kebutuhan daging pada
hari-hari besar keagamaan (Idul Fitri, Natal, dan tahun baru), tanpa dibantu
oleh sapi impor (kasus 2001). Dan tiap provinsi sumber ternak mulai khawatir
terhadap pupolasi sapi di daerahnya (Sulawesi Selatan, NTT, NTB, Jateng dan
Jatim).
Kemudian adanya pemotongan sapi betina
produktif. Pemerintah tidak mempunyai kewenangan apapun untuk
mencegah sapi betina produktif untuk dipotong. Disinyalir 20%-30% dari jumlah
sapi lokal yang dipotong adalah betia produktif.
Belum lagi akibat soal kualitas sapi lokal. Semakin menurun
dengan terjadinya in-breeding diantara sapi lokal sehingga berat hidup sapi
lokal semakin menurun (rata-rata 300 kg). Program cross breeding yang dilakukan
selama ini tidak mengakibatkan peningkatan kualitas sapi lokal karena
keterunannya (F-1) terus dipotong, bukan untuk dikembangbiakan kembali.
Kondisi itu, dengan sendirinya, membuat Indonesia harus
mampu mendorong pertumbuhan produksi sapi sekaligus daging sapi. Arena
kebutuhan daging sapi yang semakin meningkat, jika tidak disertai pertumbuhan
populasi, mengakibatkan semakin banyaknya sapi lokal yang diptong termasuk sapi
betina, sehingga jika tidak waspada Indonesia akan masuk dalam food trap. Di
mana ketergantungan akan impor akan semakin besar dan pada akhirnya akan 100%
tergantung impor.
Itu sebabnya, bisnis ternak sapi potong, menjadi salah satu
lahan usaha yang prospektif. Salah satu contoh kasus di Provinsi Sumatra Barat.
Saat ini, di provinsi itu, diyakini pertumbuhan komsumsi atas daging ternak
sapi terus memperlihatkan trend meningkat namun belum mampu dipenuhi oleh
produksi daging nasional.
Apalagi, produksi daging dari ternak sapi potong di Sumbar,
berpotensi untuk diekspor ke sejumlah negara di kawasan Asia Tenggara seperti Malaysia
dan Singapura karena permintaan daging di kedua negara tersebut cenderung
meningkat.
Peluang ekspor daging sapi ke Malaysia sangat terbuka karena
permintaan di negara jiran itu cenderung meningkat. Hal itu dipicu oleh
bergesernya tradisi memotong kambing kepada tradisi memotong sapi atau kerbau
pada saat perhelatan keluarga atau perayaan lainnya.
Bahkan, kendati kebutuhan konsumsi daging sapi di Provinsi
Sumbar sudah terpenuhi, budi daya ternak sapi potong di daerah ini tetap
membaik karena hanya untuk memenuhi atau mengisi pangsa pasar daerah lainnya
seperti Jambi, Riau dan Riau Kepulauan.
Target produksi daging tersebut mengacu kepada target hasil
kesepakatan Widya Karya Pangan dan Gizi 10 KG per kapita per tahun (27,5% x
daging sapi).
Dengan demikian, impor daging ke Sumbar tidak diperlukan
lagi, sebaliknya Sumbar bersiap-siap untuk melakukan ekspor daging sapi ke
sejumlah negara di Asia Tenggara.
Tahun lalu, Sumbar ditargetkan mampu memproduksi sedikitnya
12 juta kg daging sapi dengan populasi sapi potong sekitar 623.520 ekor.
Jumlah itu diperuntukkan bukan hanya untuk memenuhi
kebutuhan komsumsi daging masyarakat daerah ini yang diperkirakan belum
mencapai 10 juta kg per tahun.
Skala rumah tangga
Banyak sistem yang biasa digunakan untuk mengembangkan
ternak sapi potong. Salah satu sistem yang paling dikenal adalah sistem kandang
dalam lembaga yang berbadan hukum resmi seperti koperasi.
Sistem ini termasuk sistem berskala besar karena jumlah sapi
yang dibudidayakan bisa mencapai ratusan ekor, selain keuntungan yang diperoleh
dari aplikasi sistem ini jauh lebih besar.
Tapi, boleh juga seperti yang dilakukan di Sumbar. Saat ini
di provinsi itu, mulai berkembang sistem lain yakni ternak sapi potong berskala
rumah tangga yang menggunakan cara konvensional sehingga memudahkan sebuah
rumah tangga mengembangkan usaha ternak sapi potong ini.
Sistem ini dikembangkan karena ternak sapi potong dipandang
sebagai bentuk usaha yang dapat memberikan tambahan pendapatan kepada para
peternak kecil skala rumah tangga tersebut sekaligus mengangkat masyarakat
ekonomi lemah.
Ternak sapi potong berskala rumah tangga tersebut sangat
ekonomis, baik dari sisi biaya pemeliharaan maupun biaya pembuatan kandang.
Karena berskala kecil, pembuatan kandang biasanya berbentuk tunggal.
Tapi hal teknis lainnya seperti ukuran kandang untuk seekor
sapi tidak jauh berbeda dengan ukuran kandang untuk penggemukan sapi komersil
dalam skala besar.
Ukuran kandang untuk seekor sapi jantan dewasa 1,5×2 meter
atau 2,5×2 meter. Sedangkan untuk sapi betina dewasa 1,8×2 meter dan anak sapi
1,5×1 meter dengan tinggi 2-2,5 meter.
Sistem budi daya ternak sapi berskala rumah tangga ini sudah
diterapkan di Kota Sawahlunto, Sumbar sejak 2003. Di mata Pemkot Sawahlunto
penerapan sistem ini mampu mendorong pendapatan sebuah rumah tangga hingga
berlipat.
Seperti yang lazim diketahui, jenis-jenis sapi potong yang
terdapat di Indonesia saat ini merupakan sapi asli Indonesia dan sapi impor.
Dari jenis sapi potong tersebut, masing-masing memiliki sifat dan ciri khas
baik dilihat dari bentuk luarnya seperti ukuran tubuh, warna bulu maupun
genetiknya.
“Biasanya sapi-sapi asli Indonesia yang dijadikan sumber
daging para peternak sapi adalah sapi bali, sapi ongole, sapi po (peranakan
ongole), sapi madura dan sapi aceh. Ini harus diketahui peternak,”.
Pengetahuan teknis lain yang juga harus dipegang peternak
adalah bagaimana mengenal tipe sapi potong saat membeli bibit. Misalnya dari
sisi bentuk badan, bibit tipe sapi potong memiliki bentuk badan persegi panjang
atau berbentuk bulat silinder.
Sedangkan badan bagian muka, tengah dan belakang tumbuh sama
kuat. Sedangkan garis badan atas dan bawah sejajar. “Pengetahuan ini diberikan
agar peternak dapat memilih bibit tipe sapi potong yang berkualitas,”.
Selain masalah bibit, peternak harus tahu tentang bagaimana
memilih lokasi penggemukan yang memenuhi syarat ideal. Lokasi ideal untuk
membangun kandang adalah daerah yang letaknya cukup jauh dari pemukiman
penduduk. Kandang harus terpisah dari rumah tinggal dengan jarak minimal 10
meter. Sinar matahari harus dapat menembus pelataran kandang dan dekat dengan
lahan pertanian.
Pendapatan meningkat
Pola tersebut ternyata membuahkan hasil. Dalam tempo enam
bulan, satu ekor sapi potong bisa menghasilkan keuntungan sekitar Rp4 juta-Rp5
juta.
Padahal, dalam satu rumah tangga, sapi potong yang
dibudidayakan rata-rata dua sampai tiga ekor.
“Harga bibit satu ekor berkisar antara Rp6 juta-Rp7 juta,
sementara setelah dipelihara selama enam bulan, harga sapi di pasaran meningkat
antara Rp10 juta-Rp11 juta, sehingga peternak memperoleh keuntungan Rp4
juta-Rp5 juta per ekor atau sekitar Rp12 juta-Rp15 juta per satu rumah
tangga,”.
Bagaimana, apakah Anda berminat memulai usaha ternak sapi?
Oleh: Linda Mardia Sari (E2DO1113)
- I. PENDAHULUAN
Ulat sutera
merupakan salah satu sumberdaya
alam Indonesia. Kebanyakan ulat sutera yang dibudidayakan
adalah ulat sutera jenis Bombyx mori untuk penghasil usaha benang
sutera. Sutera merupakan suatu komoditi yang dihasilkan dari sejenis ulat.
Dalam ordo Lepidoptera terdapat dua kelompok penghasil sutera, yaitu sutera
murbei dan sutera non murbei. Ulat sutera yang termasuk ke dalam kelompok
sutera murbei adalah ulat sutera yang telah didomestikasi dan pakannya berasal
dari daun murbei, sedangkan yang termasuk kelompok non murbei atau sutera
liar adalah yang belum didomestikasi dan pakannya bukan daun murbei.
Sutera yang berasal dari ngengat liar lebih banyak digemari karena memiliki
lebih banyak kelebihan dibandingkan sutera yang sudah didomestikasi.
Usaha persuteraan alam merupakan salah satu kegiatan
agribisnis yang mempunyai rangkaian kegiatan yang cukup panjang mulai dari
pertanaman murbei, pembibitan ulat sutera, pemeliharaan ulat sutera, prosesing
kokon, pemintalan dan pertenunan. Dengan menempatkan sistem agribisnis
sebagai paradigma baru dalam usaha persuteraan, maka usaha persuteraan memiliki
subsistem agrbisnis yang lengkap mulai dari pengadaan sarana produksi,
budidaya, industri pengolahan, pemasaran dan kelembagaan pendukung.
Adapun manfaat kegiatan persuteraan alam sebagai berikut
mudah dilaksanakan dan memberikan hasil dalam waktu yang relatif singkat,
memberikan tambahan pendapatan kepada masyarakat khusunya di pedesaan,
memberikan lapangan kerja bagi masyarakat sekitarnya, mendukung kegiatan
reboisasi dan penghijauan.
Manfaat kegiatan persuteraan ini bisa didapat jika subsistem
agribisnis kegiatan ini telah lengkap dan berjalan dengan baik. Oleh karena itu
perlu di identifikasi subsistem apa saja yang terlibat pada kegiatan
persuteraan dan apa saja permasalahan yang terdapat pada subsistem tersebut.
- II. BUDIDAYA ULAT SUTERA
Budidaya ulat sutera dimaksudkan untuk menghasilkan benang
sutera sebagai bahan baku pertekstilan. Untuk melaksanakan pemeliharaan ulat
sutera, terlebih dahulu dilakukan penanaman murbei, yang merupakan satu-satunya
makanan (pakan) ulat sutera, Bombyx mori L.
- A. PERSIAPAN PEMELIHARAAN ULAT SUTERA
Sebelum kegiatan pemeliharaan ulat sutera dimulai, beberapa
hal yang perlu diperhatikan seperti : tersedianya daun murbei sebagai pakan
ulat sutera, ruang dan peralatan pemeliharaan serta pemesanan bibit/telur ulat
sutera.
- a. Penyediaan Daun Murbei :
§ Daun murbei untuk ulat kecil berumur
pangkas $ 1 bulan dan untuk ulat besar berumur pangkas 2-3 bulan;
§ Tanaman murbei yang baru ditanam, dapat
dipanen setelah berumur 9 bulan;
§ Untuk pemeliharaan 1 boks ulat sutera,
dibutuhkan 400-500 kg daun murbei tanpa cabang atau 1.000 – 1.200 kg daun
murbei dengan cabang;
§ Daun murbei jenis unggul yang baik untuk ulat
sutera adalah : Morus alba, M. multicaulis, M. cathayana dan BNK-3 serta
beberapa jenis lain yang sedang dalam pengujian oleh Balai Persuteraan Alam
Sulawesi Selatan.
- b. Ruangan Peralatan.
§ Tempat pemeliharaan ulat kecil sebaiknya
dipisahkan dari tempat pemeliharaan ulat besar;
§ Pemeliharaan ulat kecil dilaksanakan pada
tempat khusus atau pada Unit Pemeliharaan Ulat Kecil (UPUK);
§ Ruang pemeliharaan harus mempunyai ventilasai
dan jendela yang cukup:
§ Bahan-bahan dan peralatan yang perlu disiapkan
adalah : Kapur tembok, kaporit/papsol, kotak/rak pemeliharaan, tempat daun,
gunting stek, pisau, ember/baskom, jaring ulat, ayakan, kain penutup daun, hulu
ayam, kerta alas, kerta minyak/parafin, lap tangan dan lain-lain;
§ Desinfeksi ruangan dan peralatan, dilakukan
2-3 hari sebelum pemeliharaan ulat sutera dimulai, menggunakan larutan kaporit
0,5% atau formalin (2-3%), disemprotkan secara merata;
§ Apabila tempat pemeliharaan ulat kecil berupa
UPUK yang berlantai semen, maka setelah didesinfeksi dilakukan pencucian.
- c. Pesanan Bibit.
§ Pesanan bibit disesuaikan dengan jumlah daun
yang tersedia dan kapasitas ruangan serta peralatan pemeliharaan;
§ Bibit dipesan selambat-lambatnya 10 hari
sebelum pemeliharaan ulat dimulai melalui petugas / penyuluh atau langsung
kepada produsen telur;
§ Apabila bibit/telur telah diterima, lakukan
penanganan telur (inkubasi) secara baik agar penetasannya seragam.
Caranya adalah sebagai berikut :
§ Sebarkan telur pada kotak penetasan dan tutup
dengan kertas putih yang tipis;
§ Simpan pada tempat sejuk dan terhindari dari
penyinaran matahari langsung, pada suhu ruangan 25° -28° C dengan
kelembaban 75-85%;
§ Setelah terlihat bintik biru pada telur,
bungkus dengan kain hitam selama $ 2 hari
- B. PELAKSANAAN PEMELIHARAAN ULAT SUTERA
Kegiatan pemeliharaan ulat sutera meliputi pemeliharaan ulat
kecil, pemeliharaan ulat besar serta mengokonkan ulat.
- a. Pemeliharaan Ulat Kecil
Pemeliharaan ulat kecil didahului dengan kegiatan “Hakitate”
yaitu pekerjaan penanganan ulat yang baru menetas disertai dengan pemberian
makan pertama.
§ Ulat yang baru menetas didesinfeksi dengan
bubuk campuran kapur dan kaporit (95:5), lalu diberi daun murbei yang muda dan
segar yang dipotong kecil-kecil;
§ Pindahkan ulat ke sasag kemudian ditutup
dengan kertas minyak atau parafin;
§ Pemberian makanan dilakukan 3 kali sehari
yakni pada pagi, siang, dan sore hari;
§ Pada setiap instar ulat akan mengalami masa
istirahat (tidur) dan pergantian kulit. Apabila sebagian besar ulat tidur
($ 90%), pemberian makan dihentikan dan ditaburi kapur. Pada saat ulat
tidur, jendela/ventilasi dibuka agar udara mengalir;
§ Pada setiap akhir instar dilakukan penjarangan
dan daya tampung tempat disesuaikan dengan perkembangan ulat;
§ Pembersihan tempat ulat dan pencegahan hama
dan penyakit harus dilakukan secara teratur.
Pelaksanaanya sebagai berikut :
§ Pada instar I dan II, pembersihan dilakukan
masing-masing 1 kali. Selama instar III dilakukan 1-2 kali yaitu setelah
pemberian makan kedua dan menjelang tidur;
§ Penempatan rak/sasag agar tidak menempel pada
dinding ruangan dan pada kaki rak dipasang kaleng berisi air, untuk mencegah
gangguan semut;
§ Apabila lantai tidak ditembok, taburi kapur
secara merata agar tidak lembab;
§ Desinfeksi tubuh ulat dilaksanakan setelah
ulat bangun tidur, sebelum pemberian makan pertama.
Penyalur ulat kecil dari UPUK ke tempat pemeliharaan petani
/ kolong rumah atau Unit Pemeliharaan Ular Besar (UPUB), dilakukan ketika
sedang tidur pada instar III. Perlakuan pada saat penyaluran ulat sebagai
berikut :
§ Ulat dibungkus dengan menggulung kertas alas;
§ Kedua sisi kertas diikat dan diletakkan pada
posisi berdiri agar ulat tidak tertekan;
§ penyaluran ulat sebaiknya dilaksanakan pada
pagi atau sore hari.
- b. Pemeliharaan Ulat Besar.
Kondisi dan perlakuan terhadap ulat besar berbeda dengan
ulat kecil. Ulat besar memerlukan kondisi ruangan yang sejuk. Suhu ruangan yang
baik yaitu 24-26° C dengan kelembapan 70-75%.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemeliharaan ulat
besar adalah sebagai berikut :
§ Ulat besar memerlukan ruangan/tempat pemeliharaan
yang lebih luas dibandingkan dengan ulat kecil;
§ Daun yang dipersiapkan untuk ulat besar, disimpan
pada tempat yang bersih dan sejuk serta ditutup dengan kain basah;
§ Daun murbei yang diberikan pada ulat besar tidak
lagi dipotong-potong melainkan secara utuh (bersama cabangnya).
§ Penempatan pakan diselang-selingi secara teratur
antara bagian ujung dan pangkalnya;
§ Pemberian makanan pada ulat besar (instar IV dan V)
dilakukan 3-4 kali sehari yaitu pada pagi, siang, sore dan malam hari;
§ Menjelang ulat tidur, pemberian makan dikurangi atau
dihentikan. Pada saat ulat tidur ditaburi kapur secara merata;
§ Desinfeksi tubuh ulat dilakukan setiap pagi sebelum
pemberian makan dengan menggunakan campuran kapur dan kaporit (90:10) ditaburi
secara merata;
§ Pada instar IV, pembersihan tempat pemeliharaan
dilakukan minimal 3 kali, yaitu pada hari ke-2 dan ke-3 serta menjelang ulat
tidur;
§ Pada instar V, pembersihan tempat dilakukan setiap
hari;
§ Seperti pada ulat kecil, rak/sasag ditempatkan tidak
menempel pada dinding ruangan dan pada kaki rak dipasang kaleng yang berisi
air.
§ Apabila lantai ruangan pemeliharaan tidak berlantai
semen agar ditaburi kapur untuk menghindari kelembaban tinggi.
- c. Mengokonkan Ulat.
Pada instar V hari ke-6 atau ke-7 ulat biasanya akan mulai
mengokon. Pada suhu rendah ulat akan lebih lambat mengokon. Tanda-tanda ulat
yang akan mengokon adalah sebagai berikut :
§ Nafsu makan berkurang atau berhenti makan sama
sekali;
§ tubuh ulat menjadi bening kekuning-kuningan
(transparan);
§ Ulat cenderung berjalan ke pinggir;
§ Dari mulut ulat keluar serat sutera.
Apabila tanda-tanda tersebut sudah terlihat, maka perlu di
ambil tindakan sebagai berikut :
§ Kumpulkan ulat dan masukkan ke dalam alat
pengokonan yang telah disiapkan dengan cara menaburkan secara merata.
§ Alat pengokonan yang baik digunakan adalah :
rotari. Seri frame, pengokonan bambu dan mukade (terbuat dari daun kelapaatau
jerami yang dipuntir membentuk sikat tabung).
- PANEN DAN PENANGANAN KOKON.
Panen dilakukan pada hari ke-5 atau ke-6 sejak ulat mulai
membuat kokon. Sebelum panen, ulat yang tidak mengokon atau yang mati diambil
lalu dibuang atau dibakar.
Selanjutnya dilakukan penanganan kokon yang meliputi
kegiatan sebagai berikut :
- Pembersihan kokon, yaitu menghilangkan kotoran dan serat-serat pada lapisan luar kokon;
- Seleksi kokon, yaitu pemisahan kokon yang baik dan kokon yang cacat/jelek;
- Pengeringan kokon, yaitu penanganan terhadap kokon untuk mematikan pupa serta mengurangi kadar air dan agar dapat disimpan dalam jangka waktu tertentu;
- Penyimpanan kokon, dilakukan apabila kokon tidak langsung dipintal/dijual atau menunggu proses pemintalan.
Cara penyimpanan kokon adalah sebagai berikut :
§ Dimasukkan ke dalam kotak karton, kantong
kain/kerta;
§ Ditempatkan pada ruangan yang kering atau
tidak lembab;
§ Selama penyimpanan, sekali-sekali dijemur
ulang di sinar matahari;
§ Lama penyimpanan kokon tergantung pada cara
pengeringan, tingkat kekeringan dan tempat penyimpanan.
- III. SUB SISTEM AGRIBISNIS ULAT SUTERA DAN PERMASALAHANNYA
- Subsistem Bagian Hulu (upstream agribusiness)
Subsistem agribisnis hulu (upstream
agribusiness), yaitu kegiatan ekonomi yang menghasilkan
barang-barang modal bagi pertanian, seperti industri pembibitan/pembenihan
hewan dan tumbuhan, industri agrokimia (pupuk, pestisida, obat/vaksin ternak),
dan industri agrootomotif (mesin dan peralatan pertanian), serta industri
pendukungnya.
Di beberapa daerah dimana usaha persuteraan alam berkembang,
pupuk untuk kebun murbei masih sulit didapatkan karena bersaing dengan
kebutuhan pupuk pada lokasi pertanian lain. Akibatnya harga pupuk menjadi mahal
atau tidak dilakukan pemupukan pada lokasi tanaman murbei sehinga produktivitas
tanaman murbei menjadi rendah.
Demikian pula halnya dengan kaporit dan formalin sebagai
sarana untuk disinfeksi pada pemeliharaan ulat beberapa waktu sangat sulit
didapatkan karena adanya larangan penggunaan kedua zat tersebut, akibatnya
banyak ulat sutera pada waktu pemeliharaan terganggu dan memberikan hasil kokon
yang rendah.
Selain itu, pada umumnya lembaga-lembaga yang terkait
dengan pengadaan sarana produksi seperti kelompok tani, koperasi unit desa dan
lainnya masih kurang berperan. Terbatasnya modal, informasi dan bimbingan serta
akses atau kemudaha menjadi kendala utama dalam pengadaan sarana
produksi.
Bibit murbei yang ditanam juga masih bermacam-macam sehingga
belum terjamin keunggulannya.
- Subsistem Produksi (On-Farm)
Subsistem Produksi (On-Farm) yaitu kegiatan
yang menggunakan sarana produksi pertanian untuk
menghasilkan komoditas pertanian primer, dalam
hal ini adalah pohon murbei sebagai sarana perkembangbiakan
ulat dalam menghasilkan kokon ulat sutera.
Budidaya usaha persuteraan alam terdiri dari 2 kegiatan
yaitu kegiatan budidaya murbei dan budidaya pemeliharaan ulat sutera.
Pada budidaya murbei, dilakukan secara konvensional dan
menggunakan input yang terbatas. Tanaman murbei setelah dipanen untuk
penyediaan pakan ulat sutera biasanya hanya dibiarkan tumbuh begitu saja sampai
pemanenan berikutnya.
Budidaya ulat sutera dilakukan belum sesuai standar. Banyak
petani pemelihara ulat sutera yang tidak mengindahkan kaidah-kaidah
pemeliharaan ulat sutera baik dalam hal kecukupan pakan, kebersihan ruangan
untuk pemeliharaan ulat sutera sampai dengan cara pemanenan kokon yang kurang
sempurna.
- Subsistem Hilir
Subsistem Hilir adalah kegiatan ekonomi yang mengolah
komoditas pertanian primer (agroindustri), berupa kokon ulat sutera menjadi
produk olahan baik produk antara berupa benang sutera yang akan
digunakan untuk memproduksi kain (intermediate product) maupun
produk akhir (finish product) berupa aksesoris yang sudah siap dipakai.
Kokon yang dihasilkan dipintal menjadi menjadi benang sutera
dan benang sutera kemudian ditenun menjadi benang. Teknologi dan peralatan
produksi yang digunakan untuk kegiatan tersebut masih belum standar.
Akibat dari budidaya yang belum pada subsistem on farm
yang tidak mengikuti kaidah budidaya akan menghasilkan kokon dengan mutu yang
rendah. Kokon dengan mutu yang rendah sebagai bahan baku pada pemintalan benang
sutera akan menghasilkan benang sutera dengan mutu yang rendah pula ditambah
lagi dengan kondisi mesin pintal yang.masih belum standar. Akibatnya kain
sutera yang dihasilkan pun akan menjadi rendah.
- Subsitem pemasaran, yakni kegiatan-kegiatan untuk memperlancar pemasaran komoditas pertanian hasil olahan kokon ulat sutera, baik di dalam maupun luar negeri.
- Subsistem Pelayanan Pendukung
Subsistem Pelayanan Pendukung adalah subsistem
jasa yang menyediakan jasa bagi
subsistem agribisnis hulu, subsistem usahatani,
dan subsistem agribisnis hilir. Termasuk ke
dalam subsistem ini adalah penelitian dan pengembangan, sistem informasi dan
dukungan kebijakan pemerintah (mikroekonomi, tata ruang, makroekonomi)
dalam pengembangan potensi kokon ulat sutera emas. Sehingga dapat menjadikan
kokon ulat sutera sebagai komoditi khas Indonesia dan menjadikan Indonesia
sebagai centra sutera.
Peran kelembagaan di tingkat petani masih sangat
terbatas. Di tingkat desa dan kecamatan peran kelompok tani dalam agribisnis usaha
persuteraan alam masih lemah. Hal ini dapat dilihat dari terbatasnya penyediaan
sarana produksi dan permodalan.
- IV. KESIMPULAN
Kegiatan yang dapat dilakukan untuk
menggerakan budidaya sutera adalah dengan menjalankan
perbaikan beberapa subsistem, diantaranya :
Subsitem agribisnis hulu (upstream agribusiness), Subsistem usahatani
atau pertanian primer (on-farm agribusiness),
Subsistem agribisnis
hilir atau
pengolahan (downstream agribusiness), Subsitem
pemasaran, dan Subsistem Jasa. Pada setiap subsistem agribisnis tersebut
terdapat berbagai permasalahan, antara lain pengadaan sarana produksi yang
belum efisien, bibit unggul dan pupuk yang masih sulit diperoleh, teknologi
budidaya masih konvensional dan kurang higienis, teknologi pengolahan kokon
(pemintalan) masih belum efisien dan peran kelembagaan kelompok tani dan
pemasaran masih kurang.
DAFTAR PUSTAKA
Saragih. 2010. Agribisnis : Paradigma Baru Pembangunan
Ekonomi Berbasis Pertanian. P.T. Penerbit IPB Press. Bogor.
Sukiman, Atmosoedarjo; Kartasubrata, Junus. M. Kaomini; W.
Saleh; W. Moerdoko. 2000. Sutera Alam Indonesia. Yayasan Sarana Wana
Jaya. Jakarta
UD. Dua Saudara
BalasHapusMenyediakan Berbagai Produk Pupuk Organik Antara lain :
1. Pupuk Hayati Untuk Tanaman/Pohon Agar Tahan Hama dan Berbuah dalam Waktu yang
Singkat serta Hasil Maksimal
2. Pupuk Profish/Suplement Untuk Ikan Pada Tahap Pembesaran tahan terhadap
penyakit
3. Pupuk Unggas (Prochick) Untuk Kekebalan tubuh dan Percepatan Pembesaran
4. Pupuk Untuk Ternak (Profeed) agar hewan ternak memiliki nafsu makan dan
pencernaan yang tinggi sehingga dapat menjadikan Ternak kita Sehat
5. Dekomposer Terbuat dari Kompos Campuran Pupuk Fermentasi
6. Starter De Coco (bakteri)
7. Menjual Starter Bakteri
Segera Hubungi dan Kunjungi Home Industri kami UD. Dua Saudara
Jl.Brawijaya No. 137 - Mentikan - Kec. Prajurit Kulon
Dari Alun-Alun Mojokerto Ke Selatan, Sampai Perempatan Mojopahit Belok Kebarat
700 Meter, Kiri Jalan Pas di Perempatan Prajurit Kulon Kota Mojokerto
Ke Nomor HP 082240638153
Pin BB 5444aca9
Bagaimana?.. tertarik?.. tunggu apa lagi, silahkan menghubungi kami di alamat
tersebut. Kami siap mengirimkan paket dan menerima pesanan dari dan ke seluruh
wilayah di Indonesia.
www.jualpupukorganik.co.id
UD. Dua Saudara
BalasHapusMenyediakan Berbagai Produk Pupuk Organik Antara lain :
1. Pupuk Hayati Untuk Tanaman/Pohon Agar Tahan Hama dan Berbuah dalam Waktu yang
Singkat serta Hasil Maksimal
2. Pupuk Profish/Suplement Untuk Ikan Pada Tahap Pembesaran tahan terhadap
penyakit
3. Pupuk Unggas (Prochick) Untuk Kekebalan tubuh dan Percepatan Pembesaran
4. Pupuk Untuk Ternak (Profeed) agar hewan ternak memiliki nafsu makan dan
pencernaan yang tinggi sehingga dapat menjadikan Ternak kita Sehat
5. Dekomposer Terbuat dari Kompos Campuran Pupuk Fermentasi
6. Starter De Coco (bakteri)
7. Menjual Starter Bakteri
Segera Hubungi dan Kunjungi Home Industri kami UD. Dua Saudara
Jl.Brawijaya No. 137 - Mentikan - Kec. Prajurit Kulon
Dari Alun-Alun Mojokerto Ke Selatan, Sampai Perempatan Mojopahit Belok Kebarat
700 Meter, Kiri Jalan Pas di Perempatan Prajurit Kulon Kota Mojokerto
Ke Nomor HP 082240638153
Pin BB 5444aca9
Bagaimana?.. tertarik?.. tunggu apa lagi, silahkan menghubungi kami di alamat
tersebut. Kami siap mengirimkan paket dan menerima pesanan dari dan ke seluruh
wilayah di Indonesia.
www.jualpupukorganik.co.id