Jumat, 15 April 2016

makalah agribisnis sapi perah



Oleh: Sarpintono
1. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Seiring dengan perkembangan peternakan sapi perah di Indonesia, berbagai permasalahan persusuan pun semakin bertambah pula baik permasalahan dari sisi peternak, koperasi, maupun dari industri pengolahan susu. Sejak dilakukan impor sapi perah secara besar-besaran dari Australia dan New Zealand pada awal tahun 1980-an, ternyata produktivitas usahaternak rakyat masih tetap rendah seolah jalan ditempat, karena manajemen usaha ternak dan kualitas pakan yang diberikan sangat tidak memadai. Memperbaiki manajemen peternakan rakyat merupakan problema yang cukup komplek, tidak hanya merubah sikap peternak tetapi juga bagaimana menyediakan stok bibit yang baik dan bahan pakan yang berkualitas dalam jumlah yang memenuhi kebutuhan.
Dalam perdagangan bebas, restriksi perdagangan terutama tarif bea masuk setahap demi setahap harus dikurangi sampai mencapai 0 %. Dengan adanya perdagangan bebas ini, produk susu segar impor dapat memasuki pasaran Indonesia dengan mudah. Satu sisi, hal ini dapat memberikan peluang dan kesempatan pada konsumen untuk memilih produk susu yang mereka inginkan sesuai dengan kualitas dan harga yang dapat mereka jangkau. Tapi di sisi lain, hal ini dapat menyebabkan keterpurukan bagi para peternak sapi perah karena ketidakmampuan bersaing dalam sisi harga, kualitas, dan produksi susu dibandingkan dengan susu segar impor. Kondisi inilah yang menyebabkan para peternak sapi perah kembali tidak bergairah untuk meneruskan usaha peternakan sapi perahnya.
Berdasarkan berbagai kendala dan kondisi di atas, maka perlu di teliti tentang  permasalahan yang menghambat perkembangan persusuan di Indonesia. Hambatan perkembangan persusuan di Indonesia dapat di analisis dengan analisis sistem agribisnis sapi perah di Indonesia.

1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a.       Bagaimana sistem agribisnis pada komoditas sapi perah di Indonesia?
b.      Bagaimana pola agribisnis peternakan sapi perah di Indonesia?
c.       Bagaimana distribusi susu dari peternak sampai ke industri pengolahan susu di Indonesia?
d.      Apa saja permasalahan dan hambatan peternakan sapi perah di Indonesia?

1.3. Tujuan
a. Mengenal sistem agribisnis pada komoditas sapi perah di Indonesia.
b. Menggambarkan pola agribisnis peternakan sapi perah di Indonesia.
c. Menggambarkan distribusi susu dari peternak sampai ke industri pengolahan susu di Indonesia.
d. Menganalisis permasalahan dan hambatan peternakan sapi perah di Indonesia?
1.4. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah memberikan informasi sebagai bahan pertimbangan pengambil kebijakan dalam beragribisnis peternakan sapi perah bagi pelaku usaha dan pelaku utama.   Secara spesifik penelitian ini akan dapat dimanfaatkan:
a.    Sebagai masukan bagi pengusaha agribisnis sapi perah tentang sistem, pola, distribusi, permasalahan dan hambatan peternakan sapi perah di Indonesia.
b.    Sebagai masukan bagi pengambil kebijakan untuk membangun sistem agribisnis peternakan sapi perah di Indonesia.
2. Metode Penelitian
Untuk mengetahui sistem, pola, distribusi dan permasalahan dan hambatan agribisnis peternakan sapi perah di Indonesia digunakan sistem, pola, distribusi dan permasalahan dan hambatan agribisnis peternakan sapi perah di Indonesia menggunakan metode data sekunder. Data-data sekunder tersebut dianalisis dengan metode deskriptif.
3.Hasil dan Pembahasan
3.1. Sistem Agrbisnis Sapi Perah Di Indonesia
Sistem agribisnis pada komoditas sapi perah dibangun berdasarkan sistem vertical integration, yaitu antar pelaku agribisnis satu sama lain saling tergantung pada produk susu. Produksi susu hasil peternakan rakyat sebagian besar disalurkan ke Koperasi/KUD persusuan yang kemudian di pasarkan kepada Industri Pengolah Susu. Koperasi memberikan pelayanan kepada peternak sebagai anggotanya, berupa pemasaran hasil produksinya juga melayani kebutuhan konsentrat, obat-obatan, IB, memberikan fasilitas penyaluran kredit, dan memberikan pelayanan penyuluhan. Melihat sistem agribisnis tersebut, tampak bahwa bisnis persusuan tidak dapat dipisahkan antara subsistem off farm I (pra produksi=subsistem I), on farm (budidaya=subsistem II) dan off farm II (pasca produksi=subsistem III dan pemasaran hasil=subsistem IV) serta sub systempendukungnya, yaitu lembaga keuangan dan lembaga-lembaga Penelitian/penyedian SDM.
3.2. Pola Agribisnis Peternakan Sapi Perah di Jawa Barat
Pada subsistem I (pra produksi), semua input produksi (konsentrat, obat-obatan, hijauan, semen beku, peralatan inseminasi buatan, alat-alat dan mesin perah, dan sebagainya) disuplai untuk kegiatan budidaya sapi perah. Dengan adanya suplai input produksi tersebut, maka keberadaan sapi perah telah memajukan usaha atau perusahaan yang bergerak di bidang input produksi, seperti adanya pabrik pakan, pabrik peralatan dan mesin perah, dan sebagainya. yang diproduksi oleh perusahaan
Pengembangan agribisnis berbasis sapi perah harus dilakukan secara terintegrasi dari hulu sampai hilir. Selain itu, secara kelembagaan antara peternak, koperasi dan IPS harus menjalankan pola kemitraannya secara sinergis. Bila tidak dilakukan, niscaya bisnis persusuan tidak akan berhasil sebagaimana yang diharapkan karena sistem kerjasama yang dibangun pada komoditas sapi perah ini adalah sistem integrasi vertikal dengan satu jenis produk yang sama, yaitu susu. Bila terjadi ketimpangan pada sistem agribisnis ini, maka akan berdampak pada kehancuran subsistem yang ada di dalamnya.

3.3. Distribusi Susu, Input Dan Sarana Produksi
Peternak dari berbagai lokasi, baik yang berada di dataran rendah dan diperbukitan menyetorkan susunya kepada koperasi yang terdekat dengan wilayahnya melalui tempat pelayanan susu. Dari pelayanan susu tersebut, kemudian susu dari peternak dibawa ke koperasi
untuk selanjutnya dikirim kepada IPS ataupun dijual langsung ke konsumen. secara umum aliran disitribusi produk susu di mulai dari peternak. Para peternak dari berbagai lokasi mengantarkan susunya ke titik terdekat yang telah ditentukan oleh koperasi atau disebut juga
Tempat Penampungan Susu (TPS). Selanjutnya, pada jam yang telah ditentukan, susu-susu dari TPS tersebut diambil oleh koperasi melalui alat transportasi pengangkut susu untuk ditampung di koperasi. Selanjutnya pihak koperasi melakukan test dan uji kualitas susu yang dihasilkan peternak yang nantinya akan dikompensasi dengan harga susu per liternya. Susu yang ditampung oleh koperasi selanjutnya didistribusikan ke Industri Pengolahan Susu (IPS). Pihak IPS memberikan pembayaran atas harga susu dan pembinaan berupa informasi harga ke koperasi. Pihak koperasi sendiri berperan memberikan pelayanan kepada anggotanya sebagai penyedia input dan sarana produksi, pembinaan terhadap peternak, pemberian kredit sapi, simpan pinjam, pelayanan kesehatan, dan sebagainya.




3.4. Permasalahan dan Hambatan Peternakan Sapi Perah di Indonesia
a. Kondisi Peternakan Sapi Perah Rakyat
Sebagian besar usaha peternakan sapi perah dikelola oleh peternakan sapi perah rakyat dengan skala usaha yang tidak ekonomis. Skala usaha peternakan sapi perah sekitar 5,8 ekor/unit usaha dan kemampuan produksi sekitar 11,6 liter/ekor/hari, rataan kemampuan produksi susu di Jawa Barat sekitar 8,20 kg/ekor/hari dengan skala usaha 3,3 ekor/peternak.
b. Ketersediaan pakan
Satu permasalahan utama yang sering dialami oleh para peternak adalah kontinyuitasn masalah hijauan. Pada musim hujan, hijauan sangat berlimpah sehingga para peternak tidak begitu susah untuk mencari hijauan. Tetapi apabila musim kemarau panjang datang, maka sudah jelas kesulitan yang terjadi adalah ketersediaan hijauan. Dari tahun ketahun permasalahan ketersediaan hijauan di musim kemarau menjadi momok yang besar dan pekerjaan rumah yang belum terselesaikan, baik oleh para peternak maupun koperasi. Sudah ada berbagai upaya pengawetan hijauan, seperti silase, pengeringan hijauan, mengganti dengan sumber pakan lain, dan sebagainya belum efektif dalam memenuhi kebutuhan hijauan yang cukup besar tersebut.
c. Kendala Manajemen Peternakan Sapi perah Rakyat
                 Kendala manajemen peternakan sapi perah rakyat di Indonesia adalah: 1) Masih rendahnya roduktivitas sapi perah yang dipelihara peternak, karena mutu genetik (bibit) sapi perahnya rendah, juga karena manajemen budidaya ternak dan kualitas pakan yang diberikan tidak memadai. 2)  Rendahnya kualitas susu yang ditunjukan antara lain oleh tingginya kandungan kuman sekitar rata-rata diatas 10 juta/cc, yang diakibatkan oleh sistem manajemen kandang yang tradisional, sehingga harga yang terbentuk pun menjadi rendah. 3) Sapi perah sangat tergantung pada ketersediaan lahan sebagai penghasil pakan. Realitanya, lahan produktif bagi kepentingan peternakan sapi perah semakin terdesak oleh kebutuhan sektor lainnya. 4) Rataan jumlah pemilikan ternak yang tidak efesien (3,3 ekor/peternak), sehingga kurang menjanjikan keuntungan bagi peternak. Hal ini menjadikan tantangan tersendiri untuk meningkatkan skala usahanya, sehingga usaha peternak menjadi efesien. 5) Semakin langkanya sumberdaya manusia berupa tenaga kerja muda yang berusaha di bidang peternakan sapi perah. Hal ini sebagai dampak dari pergeseran orientasi pembangunan yang mengarah ke sektor jasa dan industri. 6) Belum terjadinya integrasi dan koordinasi yang harmonis antar lembaga pemerintah, swasta, koperasi dan peternak, sehingga berbagai kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah kurang diantisipasi oleh para pelaku bisnis.


d. Pemasaran dan Pengolahan Hasil Produksi
Berdasarkan data yang telah diungkapkan, masih terdapat kekurangan suplai susu untuk memenuhi permintaan di Indonesia.
e. Koperasi Persusuan
              Permasalahan pada koperasi adalah: 1) Orientasi usaha masih subsisten. Umumnya Koperasi dan UKM melakukan kegiatan usahanya masih berorientasi subsisten. Artinya kegiatan yang dilakukannya hanya memenuhi kebutuhan hari ini. Orientasi sesungguhnya masih kepada produksi (budidaya), belum mampu menyusun kekuatan pasar dan sarana produksi. Akibatnya sub sistem Koperasi dan UKM masih memiliki ketergantungan usaha terhadap sub sistem lainnya, yang seharusnya terjadi saling ketergantungan antar sub sistem. 2)Kendala operasionalisasi kebijakan pemerintah. Koperasi dan UKM merupakan ajang atau obyek dari proses pembangunan bukannya subyek pembangunan. Kenyataan ini, tampak dari berbagai kebijakan yang ada, selalu diikuti dengan kegagalan dan kemacetan di sanasini (contoh kasus, KUT dan kredit program lainnya). Hal tersebut mungkin lebih disebabkan oleh profesionalisme SDM yang melakukan transfer kebijakan masih rendah dalam menghadapi gerakan Koperasi. 3)Sumber Daya Manusia (SDM). Koperasi dan UKM masih belum mampu menghargai tingkat profesionalisme SDM yang ada. Berbeda dengan dunia usaha skala Besar. Akibatnya tenaga-tenaga profesional enggan berkiprah di Koperasi dan UKM. Selain itu, masih kentalnya budaya memilih tokoh/masyarakat serba bisa, padahal kondisi yang diperlukan adalah seorang wirausaha yang profesional. Di samping itu, karena tidak profesionalnya para pengurus dan karyawan maka banyak yang menjalankan koperasi yang tidak amanah sehingga koperasi menjadi bangkrut.
f. Permasalahan Industri Pengolahan Susu
Seiring dengan dibebaskannya perusahaan pengolahan susu untuk tidak selalu menyerap susu dari peternak dan diberikannya kebebasan impor susu, maka para peternak dan koperasi harus mampu bersaing dengan produk susu dari luar negeri. Saat ini, susu segar dalam negeri masih terselamatkan dengan harga susu tepung impor yang relatif mahal dibandingkan dengan susu segar dalam negeri.
Selain itu, untuk produk ultra high temperature yang diproduksi oleh perusahaan dalam bentuk susu cair kemasan masih menjadi penolong bagi susu segar dari peternak karena IPS tidak berani membayar mahal untuk mengimpor susu cair dari luar negeri. Selama ini, 80% susu dari peternak diserap oleh IPS. Harga susu yang diterima peternak dari IPS belum mengalami penaikan padahal biaya produksi sudah semakin meningkat. Ini yang menjadi tugas dari GKSI untuk memperjuangkan peningkatan harga susu yang diterima peternak dari IPS.









Makalah Usaha Peternakan Sapi Perah

PENDAHULUAN
Latar Belakang
                Indonesia merupakan negara sedang berkembang yang memiliki karakteristik laju pertumbuhan ekonomi yang cukup baik dibarengi dengan laju pertumbuhan yang pesat. Peningkatan jumlah penduduk saat ini memberikan dampak yang besar terhadap peningkatan permintaan (demand) produk pangan masyarakat. Selain itu, perkembangan masyarakat saat ini lebih ke arah yang lebih maju baik dari segi pendapatan maupun tingkat pengetahuan masyarakat mengenai pentingnya nilai gizi pangan. Hal ini
membuat masyarakat cenderung lebih meningkatkan konsumsi pangan yang mengandung gizi tinggi. Salah satu produk pangan yang terus mengalami peningkatan permintaan setiap tahunnya adalah susu. Peningkatan tersebut ditandai dengan meningkatnya konsumsi susu per kapita dari tahun ke tahun, mulai dari 5,79 kg/kapita pada tahun 2001 dan meningkat menjadi 6,8 kg/kapita pada tahun 2005 (Ditjen Bina Produksi Peternakan, 2009).
                Pengembangan sektor peternakan khususnya usaha ternak sapi perah di Indonesia saat ini perlu dilakukan karena kemampuan pasok susu peternak lokal saat ini baru mencapai 25 persen sampai 30 persen dari kebutuhan susu nasional (Direktorat Jenderal Peternakan, 2007). Besarnya volume impor susu menunjukkan prospek pasar yang sangat besar dalam usaha peternakan sapi perah untuk menghasilkan susu sapi segar sebagai produk substitusi susu impor.
                Meningat kondisi geografis, ekologi dan kesuburan lahan di beberapa wilayah Indonesia memiliki karakteristik yang cocok dalam pengembangan peternakan sapi perah (agribisnis persusuan) serta besarnya kekurangan pasokan susu dalam negeri, sebenarnya banyak sekali kerugian yang diperoleh Indonsia akibat dilakukannya kebijakan impor susu. Diantaranya adalah terkurasnya devisa nasional, tidak dimanfaatkannya potensi sumber daya manusia yang ada khususnya masyarakat pedesaan untuk pengembangan agribisnis persusuan, dan hilangnya potensi pendapatan yang seharusnya diperoleh pemerintah dari pajak apabila agribisnis persusuan ini dikembangan secara baik.
Perumusan Masalah
ü 1.  Bagaimana Memulai suatu Usaha Peternakan Sapi Perah di Kabupaten Gowa
ü 2.  Bagaimana Perencanaan Pengembangan Sapi Perah di Kabupaten Gowa

TINJAUAN PUSTAKA
                Menurut Firman (2007), seiring dengan perkembangan waktu, perkembangan agribisnis persusuan di Indonesia dibagi menjadi tiga tahap perkembangan, yaitu Tahap I (periode sebelum tahun 1980) disebut fase perkembangan sapi perah, Tahap II (periode 1980-1997) disebut periode peningkatan populasi sapi perah, dan Tahap III (periode 1997-sampai sekarang) disebut periode stagnasi. Stagnasi tersebut menyebabkan sampai saat ini Indonesia belum mampu untuk memenuhi kebutuhan susu dalam negeri. Hal ini terjadi akibat banyaknya kendala dalam melakukan pengembangan usaha ternak sapi perah seperti keterbatasan modal, tingginya harga pakan konsentrat, keterbatasan sumber daya dan juga lahan untuk penyediaan hijauan, minimnya rantai pemasaran susu. Hal lain yang menjadi kelemahan dalam usaha ternak sapi perah adalah terbatasnya teknologi pengolahan kotoran hewan ternak saat ini yang menyebabkan pencemaran.
                Menurut Direktorat Jenderal Peternakan (2007), perkembangan ekspor susu olahan dan impor susu bubuk (Skin Milk Powder-SMP) mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Berdasarkan data dari tahun 2003-2006, volume ekspor dan produk susu olahan tertinggi dicapai pada tahun 2003 sebesar 49.593.646 kg dengan nilai US $54.830.373. Sedangkan, volume impor tertinggi juga dicapai pada tahun 2005 sebesar 173.084.444 kg dengan nilai US $399.165.422. Dari angka tersebut, terlihat bahwa volume impor susu jauh lebih besar daripada volume ekspornya. Hal ini mengindikasikan bahwa kondisi perkembangan peternakan sapi perah di Indonesia masih jauh dari target.
                Susu merupakan bahan makanan asal ternak yang memiliki kandungan gizi tinggi. Hal ini mengakibatkan permintaan akan susu meningkat seiring dengan semakin bertambahnya populasi manusia setiap tahunnya. Saat ini sebagian besar susu di Indonesia masih harus diimpor (sekitar 70 %), sedangkan 30%nya di pasok dari produksi susu domestic yang sebagian besar dihasilkan oleh peternakan sapi perah rakyat. Selain itu, susu yang dihasilkan oleh peternak sapi perah Indonesia banyak yang tidak memenuhi standar IPS, sehingga banyak susu yang ditolak pabrik pengolahan susu. Tidak ada langkah lain selain membuang susu, dan hal ini tentu akan merugikan peternak Indonesia (Anonim, 2012).
                Sebagai generasi bangsa, setiap masyarakat Indonesia dituntut peran sertanya dalam pembangunan. Salah satu aspek penting dan vital bagi rakyat Indonesia adalah bidang pertanian, karena sebagian besar masyarakat Indonesia bergerak dalam sector pertanian, termasuk didalamnya subsector peternakan. Langkah yang dapat dilakukan untuk mencukupi kebutuhan konsumsi susu masyarakat Indonesia adalah dengan banyak masyarakat yang membudidayakan peternakan sapi perah. Supaya peternakan sapi perah berjalan sesuai dengan tujuan yaitu memberikan produksi susu yang tinggi dan memberikan kesejahteraan bagi masyarakat, maka diperlukan perencanaan yang matang sebelum memulai membudidayakan peternakan sapi perah (Sudono, 1999).

PEMBAHASAN
ü Memulai Suatu Usaha Peternakan Sapi Perah
Sebelum memulai beternak sapi perah, ada beberapa hal yang harus dipersiapkan dan diperhitungkan secara matang. Persiapan dan perhitungan ini sangat menentukan keberhasilan peternakan. Paling tidak, ada tiga hal yang harus dipersiapkan dan dipertimbangkan yaitu : lahan untuk kandang dan tempat memnanam rumput, ketersediaan air dan keberadaaan bibit sapi perah.
A. PERSIAPAN LAHAN
1. Lahan Untuk Kandang
Lahan yang dibutuhkan untuk kandang berdasarkan keadaan sapi perah terbagi atas 3 yaitu sebagai berikut :
-. Kandang seekor sapi masa produksi membutuhkan lahan seluas 380 x 140 cm = 5,32 m². luas lahan ini sekaligus termasuk selokan, jalan kandang dan tempat pakan.
-. Kandang sapi dara siap bunting sampai bunting membutuhkan lahan 12 x 20 m = 240 m²/ 10 ekor. Dalm hal ini, sapi-sapi dara dilepaskan secara berkelompok.
-. Kandang seekor sapi pedet membutuhkan lahan seluas 150 x 120 cm =1,8 m²
2. Lahan Untuk Penanaman Rumput
Usaha peternakan sapi perah sangat tergantung pada ketersediaan pakan hijaun. Pakan berupa hijauan ini bisa diperoleh dari lahan pertanian dan hasil budidaya atau penananaman secara khusus. Agar peternak memiliki persediaan hijauan, keberadaan lahan untuk penanaman rumput mutlak diperlukan. Lahan untuk kebutuhan ini disesuaikan dengan jumlah sapi perah yang dipelihara. Menurut pengalaman, lahan seluas 1 ha bisa memenuhi kebutuhan hijauan sekitar 10-14 ekor sapi dewasa selama 1 tahun.
B. KETERSEDIAAN AIR
Air mutlak diperlukan dalam usaha peternakan sapi perah. Hal ini disebabkan susu yang dihasilkan 87% berupa air dan sisanya berupa bahan kering. Disamping itu, untuk mendapatkan 1 litter susu, seekor sapi perah membutuhkan 3-4 litter air minum. Untuk menghasilkan susu yang sebgaian besar berupa air tersebut, keberadaan atau ketersediaan air dilingkungan sekitar lokasi peternakan harus diperhitungkan. Dengan perhitungan yang matang, peternak diharapkan tidak mendapat kesulitan di belakang hari.
Dalam peternkan ini, air digunakan tidak hanya untuk minum sapi namun juga digunakan untuk memnadikan sapid an membersihkan kandang. Khusus untuk minum, sebaiknya sapi diberikan minum secara adlibitum atau tidak terbatas jumlahnya (sekenyangnya).
C. BIBIT
Bibit sapi perah yang akan dipelihara sangat menentukan keberhasilan usaha ini. Hal ini juga seperti yang terjadi pada rekan saya yaitu bpk. Atta yang bergerak dalam usaha sapi perah yang pernah mengalami kerugian akibat sapi bibit yang dibelinya ternyata merupakan sapi yang freemartin (sapi betina namun memiliki sifat sapi jantan -> tidak bisa bunting). Oleh karena itu maka pemilihan bibit harus dipikirkan dan dan dilakukan dengan cermat dengan memperhatikan hal-hal berikut :
1. Genetic atau keturunan
Bibit sapi perah harus berasal dari induuk yang produktivitasnya tinggi dan pejantan yang unggul. Hal ini disebabkan sifat unggul kedua induk akan menurun kepada anaknya. Akan lebih baik lagi jika bibit tersebut berasal dari induk yang produktifitasnya tinggi yang dikawinkan dengan pejantan unggul.
2. Bentuk ambing
Bentuk ambing pada sapi perah dapat menentukan kuantitas dan kualitas susu yang akan dihasilkan. Ambing yang baik adalah ambing yang besar, pertautan antara otot kuat dan memanjang sedikit ke depan, serta putting normal (tidak lebih dari 4)
3. Eksterior atau Penampilan
Secara keseluruhan, sosok bibit sapi perah harus proporsional, tidak kurus dan tidak terlalu gemuk, kaki berdiri tegak dan jarak antara kaki kanan dan kai kiri cukup lebar (baik kai depan maupun belakang), serta bulu mengkilat. Perlu diketahui, besar tubuh tidak menentukan kauntitas atau jumlah susu yang dihasilkan serta tidak menentukan ketahaan terhadap penyakit.
4. Umur Bibit
Umur bibit sapi perah betina yang ideal adalh 1,5 tahun dengan bobot sekitar 300 kg. sementara itu, umur pejantan 2 tahun dengan bobot badan sekitar 350 kg. 
ü Perencanaan Pengembangan Sapi Perah
Suatu usaha yang didasarkan pada rencana sebelumnya, hasilnya akan lebih baik dibandingkan dengan usaha yang dilakukan tanpa ada rencana sebelumnya. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam membuat perencanaan sapi perah adalah sebagai berikut:
1.   Merintis Usaha
Sebelum memulai usaha kita harus menentukan titik awal atau latar belakang kita berusaha, apakah usaha kita merupakan pendirian usaha atau pengembangan usaha. Jika pendirian usaha, maka perencanaan akan dimulai dari awal, sedangkan jika pengembangan usaha, maka perencanaan usahanya merupakan perencanaan lanjutan. Persiapan dalam merintis usaha yaitu harus memperhatikan:
  1. Aspek Umum yang umumnya terdiri dari social, budaya, tanggapan masyarakat, dukungan pemerintah, dan lain-lain,
  2. Aspek Ekonomi, yaitu berkaitan dengan analisis usaha yang nantinya apakah usahanya akan menguntungkan atau sebaliknya memperoleh kerugian. Sehingga aspek ekonomi ini merupakan aspek yang vital dalam perencanaan usaha peternakan sapi perah,
  3. Aspek Teknis Operasional yaitu aspek yang terkait dengan teknis dan lingkungan. Tanpa adanya aspek ini, maka produksi tidak dapat dihasilkan. Untuk memperoleh usaha yang menguntungkan, maka harus dimulai dari aspek teknis yang baik dan berkualitas.
2. Rencana Kerja Usaha
Rencana kerja disusun setelah ada ide merintis usaha. Tahap ini merupakan tahap yang menentukan dalam awal usaha yang dilakukan. Rencana kerja dapat dibagi kedalam lima bagian, yaitu:
  1. Maksud dan tujuan usaha
Usaha peternakan sapi perah dijalankan sebagai usaha produksi susu saja atau ditambah dengan usaha pembibitan sapi perah. Kejelasan maksud dan tujuan akan memudahkan dalam kelanjutan usaha kedepannya.
  1. Ternak yang akan diusahakan
Ternak yang diusahakan akan menggunakan jenis ternak tertentu, kemudian jenis kelamin tertentu dan harus dipastikan jumlah awal ternaknya berapa banyak atau jika pengembangan maka penambahan ternaknya harus diperhatikan berapa banyak.
  1. Kandang dan Gudang
Hal ini disesuaikan dengan rintisan usaha, apakah akan membuat bangunan awal atau membuat bangunan tambahan.
  1. Pakan
Pakannya harus dipantau ketersediaannya, sehingga terjadi kontinyuitas penyediaan pakan. Maka ternak dapat tercukupi kebutuhan pakannya baik dari segi kualitas maupun kuantitas.
  1. Pasar
Usaha ternaknya harus mempunyai pasar yang baik. Jika pasarnya kurang baik, meskipun produksinya tinggi dan baik maka susu atau pedet tidak dapat dijual dan hal ini akan menyebabkan kerugian pada usaha peternakan sapi perah.
3.   Rencana Penggunaan Modal
Rencana penggunaan modal juga merupakan aspek yang memiliki peran vital dalam usaha, karena tanpa modal usaha hanya akan menjadi rencana saja dan tidak adapat diaplikasikan. Modal usaha yang harus dikeluarkan dalam menyusun rencana usaha peternakan sapi perah yaitu:
  1. Investasi
  • Kandang
  • Gudang
  • Perumahan
  • Peralatan pemerahan
  • Peralatan teknis pemeliharaan
  1. Biaya Tetap
  • Sapi betina (Laktasi dan kering kandang)
  • Sapi jantan
  • Pedet betina
  • Pedet jantan
  1. Biaya Operasional
  • Pakan (Hijauan dan konsentrat)
  • Gaji karyawan
  • Obat-obatan
  • Penyusutan bangunan dan peralatan
  • Listrik
  • Penyusutan kematian ternak (sekitar 4-5 %)
  • Pajak
  • Biaya lain-lain.
  1. Perkembangbiakan ideal sapi perah
Sebelum memulai usaha, peternak atau pengusaha harus mengetahui perkembangbiakan sapi perah. Beberapa hal yang harus diketahui dan diperhatikan adalah sebagai berikut:
  • Lama kebuntingan 9 bulan
  • Masa kering kandang 2 bulan
  • Siklus birahi 21 hari
  • Lama birahi 2 sampai 3 hari
  • Umur afkir induk atau pejantan 8 sampai 9 tahun
  • Pedet betina diberikan susu sampai umur 4 bulan
  • Pedet jantan diberikan susu sampai umur 2 bulan
  • Pedet jantan dapat dijual setelah umur 1,5 sampai 2 bulan
Langkah yang perlu dilakukan setelah usaha peternakan sapi perah berjalan adalah dilakukan evaluasi. Evaluasi dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui sejauh mana target yang direncanakan tercapai. Sehingga dapat mengambil langkah preventif sebaliknya pengembangan pada usaha peternakan sapi perah. Hal ini tentu akan membantu mengurangi ketergantungan bangsa Indonesia akan impor susu. Siapa lagi yang akan membangun Indonesia jika bukan para penerus dan generasi bangsa.
               


KESIMPULAN
Berdasarkan Pembahasan diatas Kabupaten Gowa khususnya Desa Malino sangat berpotensi untuk dijadikan sebagai tempat atau lahan peternakan Sapi Perah karena lokasi yang cukup strategis dan suhu yang sangat mendukung untuk peternakan sapi perah sesuai yang telah di jelaskan diatas.













DAFTAR PUSTAKA
Anonim.2012. http://www.ilmu-peternakan.com/2009/05/perencanaan-peternakan-sapi-perah.html. di akses pada tanggal 1 Oktober 2012.

Anonim.2012. http://www.fedcosierra.com/2011/07/persiapan-sebelum-memulai-ternak-sapi.html. di akses pada tanggal 1 oktober 2012.
Firman, Achmad. 2007. Manajemen Agribisnis Sapi Perah : Suatu Telaah Pustaka. Fakultas Peternakan, Universitas Padjadjaran. Bandung
Sudono, Adi. 1999. Ilmu Produksi Ternak Perah. Jurusan Ilmu Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
[Ditjennak] Direktorat Jenderal Peternakan. 2008. Statistik Peternakan 2008. Jakarta: Departemen Pertanian.













Priyono, S.Pt
Alumnus Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman
Mahasiswa Magister Ilmu Ternak Universitas Diponegoro
Email: priyono.spt@gmail.com
 PENDAHULUAN
 Setiap peternak yang memelihara ternak untuk dijual atau dikomersilkan selalu mengharapkan dapat memperoleh keuntungan yang setinggi-tingginya dengan biaya tertentu. Hal ini merupakan prinsip ekonomi yang sudah mengakar pada setiap orang yang melakukan usaha, baik usaha pertanian, peternakan maupun usaha komersil yang lain. Saat ini yang menjadi prioritas dan menjadi perhatian adalah kepada aspek modal finansial. Dimana diatur sedemikian rupa untuk dapat memaksimumkan keuntungan dan meminimumkan biaya. Seperti, penggunaan investasi yang tepat, menentukan fungsi produksi, fungsi keuntungan, efisiensi usaha dan kelayakan usaha.
Jika kita mengamati dengan cermat, sebetulnya suatu pembangunan dapat berjalan dengan lancar dan maju jika sebagian warga negara menggunakan modal finansial dengan diimbangi modal sosial. Modal finansial adalah sejumlah uang yang dapat digunakan untuk membeli fasilitas dan alat-alat produksi perusahaan saat ini (misalnya pabrik, mesin, peralatan, kantor, kendaraan) atau sejumlah uang yang dihimpun atau ditabung untuk investasi dimasa depan (Suharto, 2007). Modal finansial ini mempunyai konsep yang mudah dipahami oleh semua orang, bahkan orang yang tidak mengenyam pendidikan formal juga dapat memahami konsep modal finansial ini.

PEMBAHASAN

Dewasa ini mulai ramai dikembangkan penelitian-penelitian mengenai modal sosial. Peneliti ingin menggugah kesadaran masyarakat bahwa modal sosial tidak kalah pentingnya dibandingkan dengan modal finansial. Modal sosial ini memerlukan pemahaman yang lebih dibandingkan dengan modal finansial. Modal sosial dapat diartikan sebagai sumber (resource) yang timbul dari adanya interaksi antara orang-orang dalam suatu komunitas (Suharto, 2007). Jadi modal sosial dapat diukur dari hasil interaksi dan pengukurannya memerlukan ketelitian yang lebih. Modal sosial yang diantaranya terdiri dari kepercayaan, kohesifitas, altruisme, gotong royong, jaringan dan kolaborasi sosial memiliki pengaruh yang besar terhadap pertumbuhan ekonomi melalui beragam mekanisme (Blakeley dan Suggate, 1998; Suharto 2005a, Suharto 2005b). Sebagian besar orang dapat memahami modal sosial jika diberikan contoh-contohnya dalam aplikasi kehidupan sehari-hari. Salah satu contoh aplikatifnya yaitu:
Ternak sapi potong merupakan ternak yang menjadi andalan bangsa Indonesia. Hal tersebut didukung dengan rencana pemerintah dalam mencanangkan program swasembada daginng. Sehingga bangsa Indonesia tercukupi kebutuhan akan protein hewani dengan meningkatnya konsumsi masyarakat akan daging. Jumlah kebutuhan 6 gram protein hewani dapat tercukupi. Daging sapi merupakan daging pilihan masyarakat dibandingkan dengan dari daging ayam.
Ternak sapi potong banyak dibudidayakan oleh masyarakat mengingat kebutuhan akan daging tidak pernah menurun dan nilai dari daging umumnya selalu stabil. Masyarakat peternak Indonesia lebih banyak yang mengusahakan penggemukan sapi potong (fattening) karena pemeliharaan relatif mudah dan cepat yaitu sekitar 4 sampai 7 bulan. Peternak membeli sapi bakalan kemudian digemukkan dan setelah 4 sampai 7 bulan dijual untuk dipotong. Jenis sapi yang biasa digemukkan yaitu Simmental, Peranakan FH dan Peranakan Ongole.
Peternak sapi potong rakyat umumnya membentuk kelompok tani ternak dalam melakukan aktivitas usahanya. Hal ini dilakukan untuk memudahkan peternak dalam adopsi teknologi baru, perkembangan harga ternak, pakan, pemeliharaan, kesehatan dan lain sebagainya. Dalam kelompok inilah kelihatan nyata sekali modal sosial yang dimiliki peternak dapat diukur. Peternak dengan modal sosial yang tinggi cenderung akan berusaha lebih baik, sehingga pendapatan yang diterima tinggi. Hal ini sesuai dengan penelitian Priyono (2008) yang menyatakan bahwa ikatan sosial (modal sosial) memiliki pengaruh yang nyata terhadap pendapatan dan efisiensi ekonomi usaha ternak sapi potong. Semakin tinggi modal sosial, maka berkorelasi positif dengan pendapatan dan efisiensi ekonomi usaha. Sehingga apabila modal finansial dan modal sosial dilakukan secara seimbang, maka pembangunan ekonomi masyarakat dapat maju.

KESIMPULAN

Peternak sapi potong rakyat umumnya membentuk kelompok tani ternak dalam melakukan aktivitas usahanya. Peternak dengan modal sosial yang tinggi dalam kegiatan usaha kelompok cenderung akan berusaha lebih baik, sehingga usaha ternak sapi potong meningkat dan pendapatan yang diterima tinggi
  DAFTAR PUSTAKA
Blakeley, Roger dan D. Suggate. 1997. “Public Policy Development” dalam David Robinson (ed), Social Capital dan Policy Development, Wellington: The Institute of Policy Studies: 80-100.
 Priyono. 2008. Studi Keterkaitan Antara Ikatan Sosial Dengan Pendapatan dan Efisiensi Ekonomi Usaha Ternak Sapi Potong Di Kabupaten Banjarnegara. Skripsi. Universitas Jenderal Soedirman. Purwokerto.
 Suharto, E. 2007. Modal Sosial dan Kebijakan Publik. Artikel.
 Suharto, E. 2005a. Analisis Kebijakan Publik: Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan Kebijakan Sosial. Alfabeta. Bandung.
 Suharto, E. 2005b. Membangun Masyarakat Memberdayakan Masyarakat: Kajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial. Refika Aditama. Bandung.
























PELUANG USAHA TERNAK SAPI POTONG
Juni 23, 2010 oleh Arief Rachman W.
Usaha peternakan sapi potong pada saat ini masih tetap menguntungkan. Pasalnya, permintaan pasar terus memperlihatkan peningkatan. Termasuk di pasar ekspor seperti ke Malaysia. Di negara jiran itu permintaan cenderung meningkat yang dipicu oleh bergesernya tradisi memotong kambing ke tradisi memotong sapi atau kerbau pada saat perhelatan keluarga atau perayaan lainnya.
Indonesia dengan jumlah penduduk di atas 220 juta jiwa membutuhkan pasokan daging yang besar. Peternakan domestik belum mampu memenuhi permintaan daging dari warganya. Timpangnya antara pasokan dan permintaan, ternyata masih tinggi.
Tidak mengherankan, lembaga yang memiliki otoritas tertinggi dalam hal pertanian termasuk peternakan, Deptan, mengakui masalah utama usaha sapi potong di Indonesia terletak pada suplai yang selalu mengalami kekurangan setiap tahunnya.
Sementara laju pertumbuhan konsumsi dan pertambahan penduduk tidak mampu diimbangi oleh laju peningkatan populasi sapi potong dan pada gilirannya memaksa Indonesai selalu melakukan impor baik dalam bentuk sapi hidup maupun daging dan jeroan sapi.
Menurut data Susenas (2002) yang dikeluarkan BPS, memperlihatkan konsumsi daging sapi dan jeroan masyarakat Indonesia sebesar 2,14 kg/kap/tahun. Konsumsi tersebut sudah memperhiutngkan konsumsi daging dalam bentuk olahan seperti sosis, daging kaleng dan dendeng.
Asumsi
*
Penduduk tahun sebesar 206,3 juta dengan tingkat pertumbuhan sebesar 1,49% per tahun
*
Populasi sapi lokal sebesar 11,6 juta ekor dengan tingkat pertumbuhan sebesar 14% per tahun.
*
Konsumsi daging sebesar 1,72 kg/kapita/tahun dengan peningkatan sebesar 0,1 kg/kapita/tahun.
*
Produksi daging sapi sebesar 350,7 ribu ton.

Proyeksi kebutuhan daging
* Th 2000
-
Penduduk 206 juta orang

-
Konsumsi 1,72 kg/kapita/tahun

-
Produksi daging 350,7 ribu ton/tahun

-
Pemotongan sapi 1,75 juta ekor/tahun
* Th 2010
-
Penduduk 242, 4 juta orang

-
Konsumsi 2,72 kg/kapita/tahun

-
Produksi daging 654,4 ribu ton/tahun

-
Pemotongan sapi 3,3 juta ekor/tahun (naik 88,6%)
* Th 2020
-
Penduduk 281 juta orang

-
Konsumsi 3,72 kg/kapita/tahun

-
Produksi dagiing 1,04 juta ton/tahun

-
Pemotongan sapi 5,2 juta ekor/tahun (naik 197%)
Sumber : Apfindo
Dengan kondisi tersebut diperkirakan keadaan populasi 2009 hanya mampu memasok 80% dari total kebutuhan dalam negeri. Keadaan tersebut tentu sangat menghawatirkan karena suatu saat akan terjadi dimana kebutuhan daging sapi dalam negeri sangat tergantung kepada impor. Dengan demikian ketergantungan tersebut tentu akan mempengaruhi harga sapi lokal (datinnak).
Konono, menurut analisa Asosiasi Produsen Daging dan Feedlot Indonesia (Apfindo), populasi sapi lokal Indonesoia, cenderung semakin menurun tanpa ada subtitusi dari impor sapi bakalan. Contoh pada 1997, populasi sapi lokal sebesar 11,9 juta ekor menjadi 11 juta ekor (8,2%) pada 2000 dikarenakan impor sapi bakalan terganggu krisis.
Semakin sulitnya sapi lokal memenuhi kebutuhan daging pada hari-hari besar keagamaan (Idul Fitri, Natal, dan tahun baru), tanpa dibantu oleh sapi impor (kasus 2001). Dan tiap provinsi sumber ternak mulai khawatir terhadap pupolasi sapi di daerahnya (Sulawesi Selatan, NTT, NTB, Jateng dan Jatim).
Kemudian adanya pemotongan sapi betina produktif. Pemerintah tidak mempunyai kewenangan apapun untuk mencegah sapi betina produktif untuk dipotong. Disinyalir 20%-30% dari jumlah sapi lokal yang dipotong adalah betia produktif.
Belum lagi akibat soal kualitas sapi lokal. Semakin menurun dengan terjadinya in-breeding diantara sapi lokal sehingga berat hidup sapi lokal semakin menurun (rata-rata 300 kg). Program cross breeding yang dilakukan selama ini tidak mengakibatkan peningkatan kualitas sapi lokal karena keterunannya (F-1) terus dipotong, bukan untuk dikembangbiakan kembali.
Kondisi itu, dengan sendirinya, membuat Indonesia harus mampu mendorong pertumbuhan produksi sapi sekaligus daging sapi. Arena kebutuhan daging sapi yang semakin meningkat, jika tidak disertai pertumbuhan populasi, mengakibatkan semakin banyaknya sapi lokal yang diptong termasuk sapi betina, sehingga jika tidak waspada Indonesia akan masuk dalam food trap. Di mana ketergantungan akan impor akan semakin besar dan pada akhirnya akan 100% tergantung impor.
Itu sebabnya, bisnis ternak sapi potong, menjadi salah satu lahan usaha yang prospektif. Salah satu contoh kasus di Provinsi Sumatra Barat. Saat ini, di provinsi itu, diyakini pertumbuhan komsumsi atas daging ternak sapi terus memperlihatkan trend meningkat namun belum mampu dipenuhi oleh produksi daging nasional.
Apalagi, produksi daging dari ternak sapi potong di Sumbar, berpotensi untuk diekspor ke sejumlah negara di kawasan Asia Tenggara seperti Malaysia dan Singapura karena permintaan daging di kedua negara tersebut cenderung meningkat.
Peluang ekspor daging sapi ke Malaysia sangat terbuka karena permintaan di negara jiran itu cenderung meningkat. Hal itu dipicu oleh bergesernya tradisi memotong kambing kepada tradisi memotong sapi atau kerbau pada saat perhelatan keluarga atau perayaan lainnya.
Bahkan, kendati kebutuhan konsumsi daging sapi di Provinsi Sumbar sudah terpenuhi, budi daya ternak sapi potong di daerah ini tetap membaik karena hanya untuk memenuhi atau mengisi pangsa pasar daerah lainnya seperti Jambi, Riau dan Riau Kepulauan.
Target produksi daging tersebut mengacu kepada target hasil kesepakatan Widya Karya Pangan dan Gizi 10 KG per kapita per tahun (27,5% x daging sapi).
Dengan demikian, impor daging ke Sumbar tidak diperlukan lagi, sebaliknya Sumbar bersiap-siap untuk melakukan ekspor daging sapi ke sejumlah negara di Asia Tenggara.
Tahun lalu, Sumbar ditargetkan mampu memproduksi sedikitnya 12 juta kg daging sapi dengan populasi sapi potong sekitar 623.520 ekor.
Jumlah itu diperuntukkan bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan komsumsi daging masyarakat daerah ini yang diperkirakan belum mencapai 10 juta kg per tahun.
Skala rumah tangga
Banyak sistem yang biasa digunakan untuk mengembangkan ternak sapi potong. Salah satu sistem yang paling dikenal adalah sistem kandang dalam lembaga yang berbadan hukum resmi seperti koperasi.
Sistem ini termasuk sistem berskala besar karena jumlah sapi yang dibudidayakan bisa mencapai ratusan ekor, selain keuntungan yang diperoleh dari aplikasi sistem ini jauh lebih besar.
Tapi, boleh juga seperti yang dilakukan di Sumbar. Saat ini di provinsi itu, mulai berkembang sistem lain yakni ternak sapi potong berskala rumah tangga yang menggunakan cara konvensional sehingga memudahkan sebuah rumah tangga mengembangkan usaha ternak sapi potong ini.
Sistem ini dikembangkan karena ternak sapi potong dipandang sebagai bentuk usaha yang dapat memberikan tambahan pendapatan kepada para peternak kecil skala rumah tangga tersebut sekaligus mengangkat masyarakat ekonomi lemah.
Ternak sapi potong berskala rumah tangga tersebut sangat ekonomis, baik dari sisi biaya pemeliharaan maupun biaya pembuatan kandang. Karena berskala kecil, pembuatan kandang biasanya berbentuk tunggal.
Tapi hal teknis lainnya seperti ukuran kandang untuk seekor sapi tidak jauh berbeda dengan ukuran kandang untuk penggemukan sapi komersil dalam skala besar.
Ukuran kandang untuk seekor sapi jantan dewasa 1,5×2 meter atau 2,5×2 meter. Sedangkan untuk sapi betina dewasa 1,8×2 meter dan anak sapi 1,5×1 meter dengan tinggi 2-2,5 meter.
Sistem budi daya ternak sapi berskala rumah tangga ini sudah diterapkan di Kota Sawahlunto, Sumbar sejak 2003. Di mata Pemkot Sawahlunto penerapan sistem ini mampu mendorong pendapatan sebuah rumah tangga hingga berlipat.
Seperti yang lazim diketahui, jenis-jenis sapi potong yang terdapat di Indonesia saat ini merupakan sapi asli Indonesia dan sapi impor. Dari jenis sapi potong tersebut, masing-masing memiliki sifat dan ciri khas baik dilihat dari bentuk luarnya seperti ukuran tubuh, warna bulu maupun genetiknya.
“Biasanya sapi-sapi asli Indonesia yang dijadikan sumber daging para peternak sapi adalah sapi bali, sapi ongole, sapi po (peranakan ongole), sapi madura dan sapi aceh. Ini harus diketahui peternak,”.
Pengetahuan teknis lain yang juga harus dipegang peternak adalah bagaimana mengenal tipe sapi potong saat membeli bibit. Misalnya dari sisi bentuk badan, bibit tipe sapi potong memiliki bentuk badan persegi panjang atau berbentuk bulat silinder.
Sedangkan badan bagian muka, tengah dan belakang tumbuh sama kuat. Sedangkan garis badan atas dan bawah sejajar. “Pengetahuan ini diberikan agar peternak dapat memilih bibit tipe sapi potong yang berkualitas,”.
Selain masalah bibit, peternak harus tahu tentang bagaimana memilih lokasi penggemukan yang memenuhi syarat ideal. Lokasi ideal untuk membangun kandang adalah daerah yang letaknya cukup jauh dari pemukiman penduduk. Kandang harus terpisah dari rumah tinggal dengan jarak minimal 10 meter. Sinar matahari harus dapat menembus pelataran kandang dan dekat dengan lahan pertanian.
Pendapatan meningkat
Pola tersebut ternyata membuahkan hasil. Dalam tempo enam bulan, satu ekor sapi potong bisa menghasilkan keuntungan sekitar Rp4 juta-Rp5 juta.
Padahal, dalam satu rumah tangga, sapi potong yang dibudidayakan rata-rata dua sampai tiga ekor.
“Harga bibit satu ekor berkisar antara Rp6 juta-Rp7 juta, sementara setelah dipelihara selama enam bulan, harga sapi di pasaran meningkat antara Rp10 juta-Rp11 juta, sehingga peternak memperoleh keuntungan Rp4 juta-Rp5 juta per ekor atau sekitar Rp12 juta-Rp15 juta per satu rumah tangga,”.
Bagaimana, apakah Anda berminat memulai usaha ternak sapi?




















Oleh: Linda Mardia Sari (E2DO1113)
  1. I.      PENDAHULUAN
Ulat    sutera    merupakan   salah     satu    sumberdaya    alam    Indonesia. Kebanyakan ulat sutera yang dibudidayakan adalah ulat sutera jenis Bombyx mori untuk penghasil usaha benang sutera. Sutera merupakan suatu komoditi yang dihasilkan dari sejenis ulat. Dalam ordo Lepidoptera terdapat dua kelompok penghasil sutera, yaitu sutera murbei dan sutera non murbei. Ulat sutera yang termasuk ke dalam kelompok sutera murbei adalah ulat sutera yang telah didomestikasi dan pakannya berasal dari daun murbei, sedangkan  yang termasuk kelompok non murbei atau sutera liar adalah yang belum didomestikasi  dan pakannya bukan daun murbei. Sutera yang berasal dari ngengat liar lebih banyak digemari karena memiliki lebih banyak kelebihan dibandingkan sutera yang sudah didomestikasi.
Usaha persuteraan alam merupakan salah satu kegiatan agribisnis yang mempunyai rangkaian kegiatan yang cukup panjang mulai dari pertanaman murbei, pembibitan ulat sutera, pemeliharaan ulat sutera, prosesing kokon, pemintalan dan pertenunan.  Dengan menempatkan sistem agribisnis sebagai paradigma baru dalam usaha persuteraan, maka usaha persuteraan memiliki subsistem agrbisnis yang lengkap mulai dari pengadaan sarana produksi, budidaya, industri pengolahan, pemasaran dan kelembagaan pendukung.
Adapun manfaat kegiatan persuteraan alam sebagai berikut mudah dilaksanakan dan memberikan hasil dalam waktu yang relatif singkat, memberikan tambahan pendapatan kepada masyarakat khusunya di pedesaan, memberikan lapangan kerja bagi masyarakat sekitarnya, mendukung kegiatan reboisasi dan penghijauan.
Manfaat kegiatan persuteraan ini bisa didapat jika subsistem agribisnis kegiatan ini telah lengkap dan berjalan dengan baik. Oleh karena itu perlu di identifikasi subsistem apa saja yang terlibat pada kegiatan persuteraan dan apa saja permasalahan yang terdapat pada subsistem tersebut.




  1. II.   BUDIDAYA ULAT SUTERA
Budidaya ulat sutera dimaksudkan untuk menghasilkan benang sutera sebagai bahan baku pertekstilan. Untuk melaksanakan pemeliharaan ulat sutera, terlebih dahulu dilakukan penanaman murbei, yang merupakan satu-satunya makanan (pakan) ulat sutera, Bombyx mori L.
  1. A.    PERSIAPAN PEMELIHARAAN ULAT SUTERA
Sebelum kegiatan pemeliharaan ulat sutera dimulai, beberapa hal yang perlu diperhatikan seperti : tersedianya daun murbei sebagai pakan ulat sutera, ruang dan peralatan pemeliharaan serta pemesanan bibit/telur ulat sutera.
  1. a.      Penyediaan Daun Murbei :
§   Daun murbei untuk ulat kecil berumur pangkas $ 1 bulan dan untuk ulat besar berumur pangkas 2-3 bulan;
§   Tanaman murbei yang baru ditanam, dapat dipanen setelah berumur 9 bulan;
§   Untuk pemeliharaan 1 boks ulat sutera, dibutuhkan 400-500 kg daun murbei tanpa cabang atau 1.000 – 1.200 kg daun murbei dengan cabang;
§   Daun murbei jenis unggul yang baik untuk ulat sutera adalah : Morus alba, M. multicaulis, M. cathayana dan BNK-3 serta beberapa jenis lain yang sedang dalam pengujian oleh Balai Persuteraan Alam Sulawesi Selatan.
  1. b.      Ruangan Peralatan.
§   Tempat pemeliharaan ulat kecil sebaiknya dipisahkan dari tempat pemeliharaan ulat besar;
§   Pemeliharaan ulat kecil dilaksanakan pada tempat khusus atau pada Unit Pemeliharaan Ulat Kecil (UPUK);
§   Ruang pemeliharaan harus mempunyai ventilasai dan jendela yang cukup:
§   Bahan-bahan dan peralatan yang perlu disiapkan adalah : Kapur tembok, kaporit/papsol, kotak/rak pemeliharaan, tempat daun, gunting stek, pisau, ember/baskom, jaring ulat, ayakan, kain penutup daun, hulu ayam, kerta alas, kerta minyak/parafin, lap tangan dan lain-lain;
§   Desinfeksi ruangan dan peralatan, dilakukan 2-3 hari sebelum pemeliharaan ulat sutera dimulai, menggunakan larutan kaporit 0,5% atau formalin (2-3%), disemprotkan secara merata;
§   Apabila tempat pemeliharaan ulat kecil berupa UPUK yang berlantai semen, maka setelah didesinfeksi dilakukan pencucian.
  1. c.       Pesanan Bibit.
§   Pesanan bibit disesuaikan dengan jumlah daun yang tersedia dan kapasitas ruangan serta peralatan pemeliharaan;
§   Bibit dipesan selambat-lambatnya 10 hari sebelum pemeliharaan ulat dimulai melalui petugas / penyuluh atau langsung kepada produsen telur;
§   Apabila bibit/telur telah diterima, lakukan penanganan telur (inkubasi) secara baik agar penetasannya seragam.
Caranya adalah sebagai berikut :
§   Sebarkan telur pada kotak penetasan dan tutup dengan kertas putih yang tipis;
§   Simpan pada tempat sejuk dan terhindari dari penyinaran matahari langsung, pada suhu ruangan 25° -28° C dengan kelembaban 75-85%;
§   Setelah terlihat bintik biru pada telur, bungkus dengan kain hitam selama $ 2 hari
  1. B.     PELAKSANAAN PEMELIHARAAN ULAT SUTERA
Kegiatan pemeliharaan ulat sutera meliputi pemeliharaan ulat kecil, pemeliharaan ulat besar serta mengokonkan ulat.
  1. a.      Pemeliharaan Ulat Kecil
Pemeliharaan ulat kecil didahului dengan kegiatan “Hakitate” yaitu pekerjaan penanganan ulat yang baru menetas disertai dengan pemberian makan pertama.
§   Ulat yang baru menetas didesinfeksi dengan bubuk campuran kapur dan kaporit (95:5), lalu diberi daun murbei yang muda dan segar yang dipotong kecil-kecil;
§   Pindahkan ulat ke sasag kemudian ditutup dengan kertas minyak atau parafin;
§   Pemberian makanan dilakukan 3 kali sehari yakni pada pagi, siang, dan sore hari;
§   Pada setiap instar ulat akan mengalami masa istirahat (tidur) dan pergantian kulit. Apabila sebagian besar ulat tidur ($ 90%), pemberian makan dihentikan dan ditaburi kapur. Pada saat ulat tidur, jendela/ventilasi dibuka agar udara mengalir;
§   Pada setiap akhir instar dilakukan penjarangan dan daya tampung tempat disesuaikan dengan perkembangan ulat;
§   Pembersihan tempat ulat dan pencegahan hama dan penyakit harus dilakukan secara teratur.
Pelaksanaanya sebagai berikut :
§   Pada instar I dan II, pembersihan dilakukan masing-masing 1 kali. Selama instar III dilakukan 1-2 kali yaitu setelah pemberian makan kedua dan menjelang tidur;
§   Penempatan rak/sasag agar tidak menempel pada dinding ruangan dan pada kaki rak dipasang kaleng berisi air, untuk mencegah gangguan semut;
§   Apabila lantai tidak ditembok, taburi kapur secara merata agar tidak lembab;
§   Desinfeksi tubuh ulat dilaksanakan setelah ulat bangun tidur, sebelum pemberian makan pertama.
Penyalur ulat kecil dari UPUK ke tempat pemeliharaan petani / kolong rumah atau Unit Pemeliharaan Ular Besar (UPUB), dilakukan ketika sedang tidur pada instar III. Perlakuan pada saat penyaluran ulat sebagai berikut :
§   Ulat dibungkus dengan menggulung kertas alas;
§   Kedua sisi kertas diikat dan diletakkan pada posisi berdiri agar ulat tidak tertekan;
§   penyaluran ulat sebaiknya dilaksanakan pada pagi atau sore hari.
  1.       b.         Pemeliharaan Ulat Besar.
Kondisi dan perlakuan terhadap ulat besar berbeda dengan ulat kecil. Ulat besar memerlukan kondisi ruangan yang sejuk. Suhu ruangan yang baik yaitu 24-26° C dengan kelembapan 70-75%.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemeliharaan ulat besar adalah sebagai berikut :
§  Ulat besar memerlukan ruangan/tempat pemeliharaan yang lebih luas dibandingkan dengan ulat kecil;
§  Daun yang dipersiapkan untuk ulat besar, disimpan pada tempat yang bersih dan sejuk serta ditutup dengan kain basah;
§  Daun murbei yang diberikan pada ulat besar tidak lagi dipotong-potong melainkan secara utuh (bersama cabangnya).
§  Penempatan pakan diselang-selingi secara teratur antara bagian ujung dan pangkalnya;
§  Pemberian makanan pada ulat besar (instar IV dan V) dilakukan 3-4 kali sehari yaitu pada pagi, siang, sore dan malam hari;
§  Menjelang ulat tidur, pemberian makan dikurangi atau dihentikan. Pada saat ulat tidur ditaburi kapur secara merata;
§  Desinfeksi tubuh ulat dilakukan setiap pagi sebelum pemberian makan dengan menggunakan campuran kapur dan kaporit (90:10) ditaburi secara merata;
§  Pada instar IV, pembersihan tempat pemeliharaan dilakukan minimal 3 kali, yaitu pada hari ke-2 dan ke-3 serta menjelang ulat tidur;
§  Pada instar V, pembersihan tempat dilakukan setiap hari;
§  Seperti pada ulat kecil, rak/sasag ditempatkan tidak menempel pada dinding ruangan dan pada kaki rak dipasang kaleng yang berisi air.
§  Apabila lantai ruangan pemeliharaan tidak berlantai semen agar ditaburi kapur untuk menghindari kelembaban tinggi.
  1.        c.            Mengokonkan Ulat.
Pada instar V hari ke-6 atau ke-7 ulat biasanya akan mulai mengokon. Pada suhu rendah ulat akan lebih lambat mengokon. Tanda-tanda ulat yang akan mengokon adalah sebagai berikut :
§   Nafsu makan berkurang atau berhenti makan sama sekali;
§   tubuh ulat menjadi bening kekuning-kuningan (transparan);
§   Ulat cenderung berjalan ke pinggir;
§   Dari mulut ulat keluar serat sutera.
Apabila tanda-tanda tersebut sudah terlihat, maka perlu di ambil tindakan sebagai berikut :
§   Kumpulkan ulat dan masukkan ke dalam alat pengokonan yang telah disiapkan dengan cara menaburkan secara merata.
§   Alat pengokonan yang baik digunakan adalah : rotari. Seri frame, pengokonan bambu dan mukade (terbuat dari daun kelapaatau jerami yang dipuntir membentuk sikat tabung).
  1. PANEN DAN PENANGANAN KOKON.
Panen dilakukan pada hari ke-5 atau ke-6 sejak ulat mulai membuat kokon. Sebelum panen, ulat yang tidak mengokon atau yang mati diambil lalu dibuang atau dibakar.
Selanjutnya dilakukan penanganan kokon yang meliputi kegiatan sebagai berikut :
  • Pembersihan kokon, yaitu menghilangkan kotoran dan serat-serat pada lapisan luar kokon;
  • Seleksi kokon, yaitu pemisahan kokon yang baik dan kokon yang cacat/jelek;
  • Pengeringan kokon, yaitu penanganan terhadap kokon untuk mematikan pupa serta mengurangi kadar air dan agar dapat disimpan dalam jangka waktu tertentu;
  • Penyimpanan kokon, dilakukan apabila kokon tidak langsung dipintal/dijual atau menunggu proses pemintalan.
Cara penyimpanan kokon adalah sebagai berikut :
§   Dimasukkan ke dalam kotak karton, kantong kain/kerta;
§   Ditempatkan pada ruangan yang kering atau tidak lembab;
§   Selama penyimpanan, sekali-sekali dijemur ulang di sinar matahari;
§   Lama penyimpanan kokon tergantung pada cara pengeringan, tingkat kekeringan dan tempat penyimpanan.

  1. III.            SUB SISTEM AGRIBISNIS ULAT SUTERA DAN PERMASALAHANNYA
  2. Subsistem Bagian Hulu (upstream  agribusiness)
Subsistem  agribisnis  hulu  (upstream  agribusiness),  yaitu  kegiatan  ekonomi yang menghasilkan barang-barang modal bagi pertanian, seperti industri pembibitan/pembenihan hewan dan tumbuhan, industri agrokimia (pupuk, pestisida, obat/vaksin ternak), dan industri agrootomotif (mesin dan peralatan pertanian), serta industri pendukungnya.
Di beberapa daerah dimana usaha persuteraan alam berkembang, pupuk untuk kebun murbei masih sulit didapatkan karena bersaing dengan kebutuhan pupuk pada lokasi pertanian lain. Akibatnya harga pupuk menjadi mahal atau tidak dilakukan pemupukan pada lokasi tanaman murbei sehinga produktivitas tanaman murbei menjadi rendah.
Demikian pula halnya dengan kaporit dan formalin sebagai sarana untuk disinfeksi pada pemeliharaan ulat beberapa waktu sangat sulit didapatkan karena adanya larangan penggunaan kedua zat tersebut, akibatnya banyak ulat sutera pada waktu pemeliharaan terganggu dan memberikan hasil kokon yang rendah.
Selain itu, pada umumnya lembaga-lembaga  yang terkait dengan pengadaan sarana produksi seperti kelompok tani, koperasi unit desa dan lainnya masih kurang berperan. Terbatasnya modal, informasi dan bimbingan serta akses atau kemudaha menjadi kendala utama  dalam pengadaan sarana produksi.
Bibit murbei yang ditanam juga masih bermacam-macam sehingga belum terjamin keunggulannya.
  1. Subsistem Produksi (On-Farm)
Subsistem Produksi (On-Farm) yaitu kegiatan  yang menggunakan  sarana  produksi  pertanian  untuk menghasilkan komoditas  pertanian  primer,  dalam  hal  ini adalah  pohon  murbei sebagai sarana perkembangbiakan ulat dalam menghasilkan kokon ulat sutera.
Budidaya usaha persuteraan alam terdiri dari 2 kegiatan yaitu kegiatan budidaya murbei dan budidaya pemeliharaan ulat sutera.
Pada budidaya murbei, dilakukan secara konvensional dan menggunakan input yang terbatas. Tanaman murbei setelah dipanen untuk penyediaan pakan ulat sutera biasanya hanya dibiarkan tumbuh begitu saja sampai pemanenan berikutnya.
Budidaya ulat sutera dilakukan belum sesuai standar. Banyak petani pemelihara ulat sutera yang tidak mengindahkan kaidah-kaidah pemeliharaan ulat sutera baik dalam hal kecukupan pakan, kebersihan ruangan untuk pemeliharaan ulat sutera sampai dengan cara pemanenan kokon yang kurang sempurna.
  1. Subsistem Hilir
Subsistem Hilir adalah kegiatan ekonomi yang mengolah komoditas pertanian primer (agroindustri), berupa kokon ulat sutera menjadi produk olahan baik produk antara berupa benang sutera  yang akan digunakan  untuk memproduksi  kain (intermediate product) maupun produk akhir (finish product) berupa aksesoris yang sudah siap dipakai.
Kokon yang dihasilkan dipintal menjadi menjadi benang sutera dan benang sutera kemudian ditenun menjadi benang. Teknologi dan peralatan produksi yang digunakan untuk kegiatan tersebut masih belum standar.
Akibat dari budidaya yang belum pada subsistem on farm yang tidak mengikuti kaidah budidaya akan menghasilkan kokon dengan mutu yang rendah. Kokon dengan mutu yang rendah sebagai bahan baku pada pemintalan benang sutera akan menghasilkan benang sutera dengan mutu yang rendah pula ditambah lagi dengan kondisi mesin pintal yang.masih belum standar. Akibatnya kain sutera yang dihasilkan pun akan menjadi rendah.
  1. Subsitem pemasaran, yakni kegiatan-kegiatan untuk memperlancar pemasaran komoditas  pertanian  hasil  olahan  kokon  ulat  sutera,  baik  di  dalam maupun luar negeri.
  2. Subsistem Pelayanan Pendukung
Subsistem Pelayanan Pendukung adalah subsistem   jasa   yang  menyediakan   jasa  bagi  subsistem   agribisnis   hulu, subsistem  usahatani,  dan  subsistem  agribisnis  hilir.  Termasuk  ke  dalam subsistem ini adalah penelitian dan pengembangan, sistem informasi dan dukungan kebijakan pemerintah (mikroekonomi,  tata ruang, makroekonomi) dalam pengembangan potensi kokon ulat sutera emas. Sehingga dapat menjadikan kokon ulat sutera sebagai komoditi khas Indonesia dan menjadikan Indonesia sebagai centra sutera.
Peran kelembagaan di tingkat petani  masih sangat terbatas. Di tingkat desa dan kecamatan peran kelompok tani dalam agribisnis usaha persuteraan alam masih lemah. Hal ini dapat dilihat dari terbatasnya penyediaan sarana produksi dan permodalan.

  1. IV.            KESIMPULAN
Kegiatan  yang  dapat  dilakukan untuk  menggerakan  budidaya sutera adalah dengan menjalankan  perbaikan  beberapa  subsistem,  diantaranya  :  Subsitem agribisnis hulu (upstream agribusiness), Subsistem usahatani atau pertanian primer (on-farm agribusiness), Subsistem    agribisnis     hilir     atau     pengolahan    (downstream agribusiness), Subsitem pemasaran, dan Subsistem Jasa. Pada setiap subsistem  agribisnis tersebut terdapat berbagai permasalahan, antara lain pengadaan sarana produksi yang belum efisien, bibit unggul dan pupuk yang masih sulit diperoleh, teknologi budidaya masih konvensional dan kurang higienis, teknologi pengolahan kokon (pemintalan) masih belum efisien dan peran kelembagaan kelompok tani dan pemasaran masih kurang.

DAFTAR PUSTAKA
Saragih. 2010. Agribisnis : Paradigma Baru Pembangunan Ekonomi Berbasis Pertanian. P.T. Penerbit IPB Press. Bogor.
Sukiman, Atmosoedarjo; Kartasubrata, Junus. M. Kaomini; W. Saleh; W. Moerdoko. 2000. Sutera Alam Indonesia. Yayasan Sarana Wana Jaya. Jakarta










2 komentar:

  1. UD. Dua Saudara

    Menyediakan Berbagai Produk Pupuk Organik Antara lain :
    1. Pupuk Hayati Untuk Tanaman/Pohon Agar Tahan Hama dan Berbuah dalam Waktu yang

    Singkat serta Hasil Maksimal

    2. Pupuk Profish/Suplement Untuk Ikan Pada Tahap Pembesaran tahan terhadap

    penyakit

    3. Pupuk Unggas (Prochick) Untuk Kekebalan tubuh dan Percepatan Pembesaran

    4. Pupuk Untuk Ternak (Profeed) agar hewan ternak memiliki nafsu makan dan

    pencernaan yang tinggi sehingga dapat menjadikan Ternak kita Sehat

    5. Dekomposer Terbuat dari Kompos Campuran Pupuk Fermentasi

    6. Starter De Coco (bakteri)

    7. Menjual Starter Bakteri

    Segera Hubungi dan Kunjungi Home Industri kami UD. Dua Saudara
    Jl.Brawijaya No. 137 - Mentikan - Kec. Prajurit Kulon
    Dari Alun-Alun Mojokerto Ke Selatan, Sampai Perempatan Mojopahit Belok Kebarat

    700 Meter, Kiri Jalan Pas di Perempatan Prajurit Kulon Kota Mojokerto

    Ke Nomor HP 082240638153
    Pin BB 5444aca9

    Bagaimana?.. tertarik?.. tunggu apa lagi, silahkan menghubungi kami di alamat

    tersebut. Kami siap mengirimkan paket dan menerima pesanan dari dan ke seluruh

    wilayah di Indonesia.

    www.jualpupukorganik.co.id

    BalasHapus
  2. UD. Dua Saudara

    Menyediakan Berbagai Produk Pupuk Organik Antara lain :
    1. Pupuk Hayati Untuk Tanaman/Pohon Agar Tahan Hama dan Berbuah dalam Waktu yang

    Singkat serta Hasil Maksimal

    2. Pupuk Profish/Suplement Untuk Ikan Pada Tahap Pembesaran tahan terhadap

    penyakit

    3. Pupuk Unggas (Prochick) Untuk Kekebalan tubuh dan Percepatan Pembesaran

    4. Pupuk Untuk Ternak (Profeed) agar hewan ternak memiliki nafsu makan dan

    pencernaan yang tinggi sehingga dapat menjadikan Ternak kita Sehat

    5. Dekomposer Terbuat dari Kompos Campuran Pupuk Fermentasi

    6. Starter De Coco (bakteri)

    7. Menjual Starter Bakteri

    Segera Hubungi dan Kunjungi Home Industri kami UD. Dua Saudara
    Jl.Brawijaya No. 137 - Mentikan - Kec. Prajurit Kulon
    Dari Alun-Alun Mojokerto Ke Selatan, Sampai Perempatan Mojopahit Belok Kebarat

    700 Meter, Kiri Jalan Pas di Perempatan Prajurit Kulon Kota Mojokerto

    Ke Nomor HP 082240638153
    Pin BB 5444aca9

    Bagaimana?.. tertarik?.. tunggu apa lagi, silahkan menghubungi kami di alamat

    tersebut. Kami siap mengirimkan paket dan menerima pesanan dari dan ke seluruh

    wilayah di Indonesia.

    www.jualpupukorganik.co.id

    BalasHapus